Selasa, 26 April 2011

Pendidikan Karakter yang Berakar pada Kearifan Lokal


(Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2011)

Oleh: Agus Safari, S.Pd

Hari pendidikan nasional 2 Mei 2011, kembali membawa kita pada kondisi pendidikan di negeri ini, yang oleh banyak kalangan masih dirasa kurang sempurna. Momentum yang paling tepat adalah membangun jati diri bangsa lewat pendidikan karakter. Bung Karno mengatakan “Nation and character Buliding”. Karakter amat menentukan dalam mempercepat dan memberhasilkan pembangunan di segala bidang, bahkan hampir dipastikan bahwa kesuksesan pembangunan itu sendiri bergantung kepada kesuksesan pembentukan karakter. Bagaimana mungkin akan tumbuh sebuah bangsa yang maju dan berperadaban  tanpa karakter yang menjadi alat dorongnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita sedang berada pada krisis multidemensi. Salah satu di antaranya krisis akhlak yang di dalamnya tercakup krisis karakter. Oleh sebab itu para pemerhati, pakar, aktivis pendidikan dan masyarakat saat sekarang ini banyak berbicara dan memberikan konsep tentang  pendidikan karakter. Salah satu di antaranya adalah upaya memperkaya konsep dan aplikasi pendidikan karakter , penulis mengemukakan satu tawaran sebagai tambahan dari konsep-konsep yang sudah ada yakni melalui pendekatan kearifan budaya lokal. Apa yang dimaksudkan dengan kearifan budaya lokal itu? Berkenaan dengan kebiasaan, adat istiadat, budaya dan pandangan hidup dari suku (etnis) tertentu yang telah teruji keampuhannya dalam membentuk karaktek etnis tersebut. Menurut para sosiolog dan antropolog , bahwa di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus suku bangsa (etnis)  yang memiliki bahasa, tradisi dan budaya sendiri. Dari setiap suku itu dapat dipastikan akan memiliki nilai-nilai (values) positif dalam kehidupan mereka yang telah diwarisi beratus tahun. Nilai (value) positif  seperti, keberanian, kejujuran, keterbukaan, disiplin, hemat, punya rasa malu, kekerabatan, tanggungjawab dan lain-lain.

Kearifan Budaya Lokal

Kearifan budaya lokal boleh jadi saat ini pada suku-suku tertentu mulai menghilang karena arus modernisasi dan globalisasi. Bahkan kemungkinan saja ada suku-suku tertentu yang telah meninggalkan tradisi budayanya, misalnya meninggalkan bahasa daerah. Di rumah tangga tertentu akibat dari berbagai faktor, temasuk perkawinan silang antar suku, kehidupan di kota-kota, bahasa daerah sudah tidak digunakan lagi. Dan hal itu bisa saja berpengaruh kepada hilangnya sedikit demi sedikit kerifan budaya lokal yang dimiliki oleh etnis tersebut.

Kondisi yang sedemikian itu sebetulnya tidaklah menghambat kita untuk tetap berpijak pada kearifan budaya lokal dimaksud, karena masih banyak suku bangsa di Indonesia yang masih berpegang kepada budaya dan kearifan lokalnya. Kearifan budaya lokal Banyuwangi perlu dilestarikan. Kearifan budaya lokal Banyuwangi perlu pengembangan nilai-nilai dan karakter positif yang terdapat di dalamnya, lalu ini dijadikan sebuah pegangan hidup pribadi di kalangan anggota masyarakat, seperti apa yang pernah ditulis oleh Bellah dalam sebuah hasil penelitiannya tentang masyarakat Jepang dalam buku “Relegi Togukawa”.

Dalam buku itu, Bellah bercerita tentang masyarakat Jepang yang memiliki semangat Busido. Semangat ini pada mulanya hanya dimiliki kaum samurai Jepang, tetapi akhirnya semangat itu di sosialisasikan ke seluruh lapisan masyakat, sehingga semangat ini menjadi semangat bersama bagi seluruh masyarakat Jepang, baik petani, pedagang atau profesi lainnya. Semangat Busido itu menjadi karakter mereka yang melahirkan prilaku: rajin, jujur, hemat, taat kepada pimpinan dan orang tua, berani.

Lahirnya semangat busido yang  berimplikasi kepada lahirnya karakter positif masyarakat Jepang adalah berangkat dari akar budaya mereka. Mereka terjemahkan kearifan budaya mereka menjadi karakter dan mereka implikasikan dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak seorang pun yang membantah bahwa bangsa Jepang adalah  bangsa  terajin di dunia. Biasa dilakukan oleh seorang pekerja di Jepang apabila telah berakhir jam kerjanya di sebuah perusahaan dia tidak langsung pulang tetapi diteruskannya kerja lembur.

Di Banyuwangi, kita mewarisi budaya dan sejarah yang memiliki karakter yang sangat kuat. Dapat kita lihat budaya Banyuwangen, yang sering kita sebut dengan Using. Sebagaimana bersama kita ketahui, Banyuwangi adalah kelanjutan dari Blambangan yang memiliki karakter budayanya yang khas. Masyarakat Banyuwangi (Using), memiliki sikap yang tabah, tegar, jujur (paran anane), berani, tegas, dan simpel/tidak bertele-tele (kelendi enake). Sejumlah watak tersebut tercermin dalam khasanah budaya Banyuwangi dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah hal itu menjadi modal penting di dalam mengembangkan dunia pendidikan berkarakter yang berakar pada kearifan lokal kebanyuwangian.

Kaitan Budaya Lokal dengan Pendidikan Karakter

Para pakar pendidikan mengemukakan bahwa pendidikan karakter itu amat efektif dilakukan di lingkungan keluarga. Kenapa? Pertama, keluarga adalah pendidik utama dan pertama bagi anak. Kedua, pendidikan karakter ini lebih banyak dipraktekkan ketimbang diucapkan. Ketiga, hubungan batin yang intensif itu adalah hubungan batin antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai peserta didik. Oleh karena itu, tekanan pendidikan karakter ini seharusnya lebih dominan di lingkungan keluarga, tanpa bermaksud mengabaikan pendidikan di sekolah dan di masyarkat.

Pada setiap rumah tangga telah terbentuk sebuah pandangan hidup tentang baik dan buruk. Orang tua sudah dapat dipastikan memiliki itu. Apakah pandangan hidup itu berasal dari agama, budaya atau lainnya yang diwariskan orang tua kepada anak-anak mereka. Indonesia amat kaya dengan kearifan budaya. Boleh jadi ada satu etnis tertentu yang amat membudaya bagi mereka adalah karakter kejujuran, bagi etnis tersebut kejujuran itu adalah harga diri yang paling mahal dan tinggi, lalu ini  dididikkan kepada generasi mudanya, sehingga kapan saja, di mana saja dan siapa saja akan tetap  berpegang kepada nilai kejujuran itu. Bagi mereka kejujuran adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.

Disebabkan  persolan karakter bangsa semakin menjadi perhatian serius bagi kita saat  sekarang, maka pendidikan karakter bangsa perlu dijadikan program utama. Berkenaan dengan itu perlu dicarikan masukan yang lebih komprehensif. Sebuah  pekerjaan besar harus digotong royongkan mengerjakannya, karena pendidikan karakter  adalah sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa diselesaikan secara parsial, harus digotong royongkan dengan cara mencari segala celah yang dapat digunakan untuk memperkaya konsep dan aplikasi pendidikan karakter. Salah satu celahnya adalah lewat pengamalan nilai (value) positif yang terdapat pada  kearifan budaya lokal Banyuwangi. Dengan asumsi bahwa semakin banyak celah  yang dipergunakan untuk membangun karakter bangsa maka semakin  berpeluang untuk lebih berhasil. Dan dalam hal ini, pendidikan di sekolah harus lebih dominan melibatkan orang tua dan keluarga. Fungsi pendidikan dalam keluarga tak terlepas dari peranan ayah dan ibu yang memiliki beberapa turunan fungsi yang bersifat kultur (pendidikan budaya) untuk mempartahankan budaya dan adat keluarga, bersifat religi (pendidikan agama) agar kehidupan dalam keluarga berjalan dengan baik, sejahtera, tentram dan terarah. Selain itu, bersifat ekonomis (pendidikan ekonomi) sehingga tidak tercipta krisis keuangan keluarga, bersifat sosialisasi (pendidikan sosial) agar menciptakan suasana yang kondusif baik secara internal maupun eksternal, bersifat protektif (pendidikan proteksi) untuk melindungi wahana keluarga dari pengaruh apa pun atau faktor apa pun yang  merugikan bagi keluarga dan lainya. Oleh karena itu, filter utama dari pengaruh negatif adalah keluarga.

Peran Pemerintah

Peran pemerintah sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional, ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan sebagai usaha secara sadar untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang berakar pada kebudayaan nusantara.

OTONOMI DAERAH DALAM PARADIGMA GLOBAL


(Refleksi Hari Otonomi Daerah 25 April)

Oleh: Agus Safari, S. Pd *)

Tidak terasa, otonomi daerah telah berjalan sekian tahun lamanya. Tulisan ini bermaksud merefleksi pelaksanaan otonomi daerah di Banyuwangi, yang diperingati setiap tanggal 25 April. Sebagaimana kita ketahui bersama, pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 dan menjelang pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terbukti masih banyak dijumpai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.

Pertama, adanya persepsi bahwa provinsi tidak lagi memiliki otoritas administratif terhadap kabupaten/kota. Provinsi terkesan ‘takut’, bahkan ‘minder’ untuk menyentuh domein pemerintahan kabupaten/kota, sehingga lebih bersikap menghindari kemungkinan munculnya tuduhan bahwa provinsi mencampuri urusan rumah tangga kabupaten/kota. Desi Fernanda (2000), dan Tri Widodo (2001), menyebut keadaan di mana provinsi merasa kehilangan rasa percaya diri, takut dan minder untuk berurusan dengan kabupten/kota, sebagai sindrom inferioritas. UU No. 32 tahun 2004 agaknya berupaya mengadopsi problema ini dengan mempertimbangkan perlunya perhatian terhadap aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah.

Kedua, pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah, dari orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik, (dalam batas tertentu) telah memicu konsolidasi parameter-parameter primordialisme dalam komunitas politik lokal, yang bisa menyuburkan berkembangnya “daerah-isme” secara berlebihan. Padahal, otonomi bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan, sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan sikap egoisme kelompok (suku, agama, ras), eksklusivisme teritorial (wilayah, daerah, kawasan), primordialisme, serta sikap intoleran terhadap orang atau kelompok lain.

Ketiga, implementasi otonomi daerah selama ini juga masih meninggalkan sejumlah persoalan seputar tarik-ulur hubungan keuangan pusat dan daerah, hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, serta penataan institusi dan mekanisme lokal. Akibatnya, penerapan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 yang diimplementasikan menjadi Undang-undang No.32 Tahun 2004, telah banyak menimbulkan perdebatan wacana, yang menyoroti berbagai persoalan. Akan tetapi, ada satu persoalan yang jarang dicermati, yaitu persoalan “keterbatasan cakrawala” dalam melihat proses otonomi itu sendiri. Otonomi daerah selama ini hanya dilihat dalam cakrawala geo-politik yang terbatas, sebagai proses “terlepasnya” daerah-daerah dari pusat, yang kemudian diberikan kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konteks kajian budaya (cultural studies), cara pandang demikian menjadi parsial karena batas-batas geo-politik dan sosio-kultural sudah mencair dari kesatuan-kesatuan sosial yang ada sebelumnya. Implikasinya, provinsi/kabupaten/kota tidak lagi dapat menentukan, mendefinisikan diri dan lingkungannya dalam kerangka berpikir dan bertindak secara utuh sebagaimana sebelumnya.

Di Banyuwangi, permasalahan Otonomi Daerah juga menjadi bagian yang sama dari persoalan-persoalan umum di daerah lain. Yang perlu kita catat sebagai semangat dan pilar otonomi daerah di Banyuwangi, ialah kita menyadari bahwa otonomi daerah merupakan bagian dari proses demokratisasi. Hal ini ditandai dengan sharing of power. Misalnya, dalam melaksanakan sistem pemerintahan, harus ada sinergi antara jabatan politik dan jabatan birokrasi antara DPRD, Bupati-Wakil Bupati, dan Sekretaris Kabupaten sebagai pemegang jabatan formal non-politik (professional). Pelaksanaan otonomi daerah pun haruslah kita kaitkan dengan penguatan budaya lokal (local genuine). Ini artinya, kita harus dapat meleburkan diri ke dalam nilai-nilai budaya dan sejarah lokal Banyuwangi. Karena di masa globalisasi saat ini, setiap kelompok yang ikut ke dalam arus global justru akan mengalami kehancuran. Sedangkan kelompok yang konsisten di dalam ketetapan lokalistiknya (nilai-nilai kearifan lokal), ia akan tetap eksis di tengah gelombang globalisasi.

Otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik di daerah, agar pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat, dan melakukan perombakan birokrasi demi efektifitas program pembangunan di daerah. Pemerintah kabupaten perlu meningkatkan pelayanan yang tidak mempersulit kepentingan rakyat. Di samping itu, penetapan APBD dilakukan sepenuhnya oleh DPRD Banyuwangi dengan melibatkan atau mengikutsertakan rakyat di dalam pengambilan keputusan. DPRD sebagai lembaga kontrol memiliki wilayah kewenangannya sendiri, begitu juga dengan eksekutif. Jangan terjadi tumpang tindih tugas antara eksekutif dan legislatif. Ada tugas-tugas legislatif yang tidak boleh “dicampuri” oleh eksekutif dan ada tugas-tugas eksekutif yang tidak boleh “dicampuri” oleh legislatif. Misalnya, wewenang tentang penataan birokrasi yang berada di tangan eksekutif, dan legislatif tidak boleh “mencampuri” urusan tersebut. Hal ini harus dipahami, agar roda pemerintahan tidak terhambat oleh persoalan mekanisme yang menyebabkan terbengkalainya program-program otonomi. Hal itu telah diatur dalam perundangan yang ada.

Reformasi birokrasi aparatur negara adalah perubahan dari government (pemerintah; peran pemerintah lebih dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan) ke governance (tata pemerintahan, penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan, bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan,  mengelola sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, mengandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development (penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata pemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang bertanggungjawab, pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa). Hasil pengamatan Sofian Effendi (rektor UGM) menyimpulkan, sampai dengan saat ini Indonesia masih dihadapkan banyak masalah dalam mengembangkan good governance, antara lain  tantangan dalam pemberantasan KKN, clean government, kebijakan yang tidak jelas, kelembagaan belum ditata dengan baik, penempatan personil tidak kredibel, dan enforcement menggunakan sentra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa. Pendayagunaan aparatur negara, yakni terwujudnya aparatur negara yang profesional, handal dan bermoral menuju pemerintahan yang baik. Hal itu dapat dicapai dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi koordinasi program pendayagunaan aparatur negara, kualitas pelayanan publik, akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, koordinasi pengawasan, kelembagaan dan ketatalaksanaan yang efektif dan efisien, profesionalitas SDM aparatur, dan kinerja aparatur negara. Di Banyuwangi, tentu kita berharap pemerintahan yang sekarang dapat menuju pada pencapaian ideal tersebut dengan mempertahankan pelbagai tatanan yang telah cukup baik selama ini, serta melakukan perubahan yang lebih baik dari tatanan yang dirasa kurang sempurna. Hal ini akan menghasilkan prestasi bagi Banyuwangi dan mendatangkan kondisi investasi yang menarik dan sehat.

Otonomi daerah tidaklah boleh melahirkan “raja-raja kecil” di tingkat daerah. Ini memerlukan kontrol kekuasaan secara efektif. DPRD Banyuwangi melakukan kontrol kritis terhadap Pemkab, dan rakyat (beserta lembaga-lembaga non-government dan ormas) juga melakukan kontrol secara aktif. Karena itu, penguatan masyarakat adalah sangat vital di dalam mengawal otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan wewenang kepada pemerintah kabupaten untuk mengambil keputusan seluas-luasnya sesuai dengan kewenangannya. Namun, sangat kita sayangkan, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita masih melihat kebijakan-kebijakan formal di Banyuwangi terasa kesulitan mewujudkan terobosan dalam program pembangunan daerah. Hal itu dapat kita maklumi, karena terlalu banyaknya pihak-pihak di luar kekuasaan yang dulu mendukung kini berebut “jatah” dari kekuasaan yang telah didapatkan melalui Pemilukada serta ketakutan terhadap sistem yang mengkhawatirkan terjebak dalam kasus korupsi. Tentu untuk menghindari dua hal itu, pemimpin formal harus bekerja secara profesional dan memiliki tim pengkaji hukum dan undang-undang yang memiliki kapabilitas di bidangnya. Kita harus belajar kepada bupati-bupati pendahulu yang telah mampu dan berani mengambil langkah strategis untuk membangun daerahnya, meskipun mereka menjadi korban sistem. Kita masih ingat dalam sejarah Banyuwangi, Tawangalun II yang jujur, berani, cerdas dan berwibawa, Mas Alit (bupati pertama) yang berani mengambil resiko demi kepentingan rakyat, Djoko Supa’at Slamet yang memiliki perhatian tinggi terhadap budaya lokal, dan Ir. H. Samsul Hadi yang melangkah dengan terobosan-terobosannya yang spektakuler. Dan setelah itu, kita terasa kehilangan nama pemimpin seperti nama-nama tersebut. Setiap orang tidak akan memungkiri jasa dan prestasi monumental dari Tawangalun II, Mas Alit, Djoko Supa’at Slamet, dan Ir. H. Samsul Hadi. Diharapkan bupati yang sekarang memimpin Banyuwangi, dapat melanjutkan tongkat estafet empat tokoh pemimpin bersejarah tersebut.

Akhirnya, kinerja pemerintahan di era otonomi daerah ini, bergantung pada kualitas pemimpin yang benar-benar menjadi “andalan” rakyat Banyuwangi untuk mencapai kesejahteraan hidup yang lebih baik.

Banyuwangi,  25 April 2011

*) Penulis adalah Koordinator Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politk Lokal Banyuwangi.





Kamis, 16 Desember 2010

Buku "Catatan Seorang Guru"



Catatan Seorang Guru
Oleh: Agus Safari, S. Pd

Sampul depan     : Ketik Manual (Asri, 2010)
Editor                     : A. Syaiful Ulya
Penata letak         : Taufiq Wr. Hidayat

Penerbit                 : Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politik Lokal
  Banyuwangi (LK2P2L)
  Jln. Ikan Hiu 46 Banyuwangi 081 336 344 744


 
Cetakan                 : Pertama, Desember 2010





Dapatkan bukunya di kantor Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Banyuwangi. 
Atau dapat menghubungi alamat e-mail dan blog. Hp: 081 336 344 744

Rabu, 08 Desember 2010

Kerangka Teknis Pendidikan Karakter Bangsa


Oleh: Agus Safari, S. Pd



Generasi muda dan pelajar dewasa ini, sudah tidak lagi gandrung terhadap karakter budaya bangsa. Dapat kita maklumi, karena persoalan ini tidak terlepas dari arus globalisasi yang dahsyat, terutama di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Pihak-pihak terkait, seperti guru, orang tua, dan masyarakat umumnya merasa prihatin terhadap persoalan ini. Guru dan orang tua seolah-olah sudah kehilangan “akal” untuk mengatasi persoalan tersebut. Kenakalan remaja seperti pergaulan bebas, narkoba, ugal-ugalan di jalan raya, dll. mengakibatkan kerugian moral dan material yang cukup menyedihkan. Sarana-sarana pendidikan formal yang bertujuan membentuk kepribadian anak didik, merasa tidak lagi menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan itu. Mengatasi hal ini, harus dimulai dari peran aktif orang tua dan guru di sekolah. Keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat membuka peluang untuk mengecilkan dampak negatif dari degradasi moral generasi muda terhadap nilai-nilai kebangsaan yang luhur.

Dalam membangun karakter bangsa yang ideal, maka konsepsi ini adalah sesuatu yang mendasar. Dapat dimaknai bahwa seorang pemuda/pelajar haruslah konsekuen untuk mewujudkan apa yang telah diucapkan. Kristalisasi dari ungkapan itu adalah perlunya pribadi memiliki sifat "bawa laksana". Dalam filsafat Jawa, seseorang harus memiliki sifat "bawa laksana" di samping sifat-sifat baik lain dari kebudayaan nusantara. Ini tercermin dari ungkapan yang sering diucapkan Dalang dalam setiap lakon wayang, yang berbunyi: "dene utamaning nata, berbudi bawa laksana" (sifat utama bagi seseorang adalah bermurah hati dan teguh memegang janji). Sifat 'bawa laksana' dianggap mempunyai nilai yang sangat tinggi, sehingga ia harus dimenangkan apabila terjadi benturan dengan nilai-nilai lain yang negatif. Etika 'bawa laksana' mengandung nilai yang bersifat universal. Di mana pun dan kapan pun juga, sikap tersebut pasti diakui mengandung nilai filsafat yang baik dan perlu dipegang teguh oleh semua orang. Bercermin pada nilai-nilai luhur bangsa dengan nuansa ikhlas bakti bina bangsa dan berbudi ‘bawa laksana’, agaknya dapat dijadikan pengobat kegelisahan kita. Dunia pendidikan selayaknya menjadi pelopor perlunya merekatkan kembali nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme sebagai pondasi dasar membangun karakter bangsa, yang dalam istilah Ir. Soekarno, nasionalism caracter building yang dibangun dari kebudayaan nusantara, dan telah dirumuskan dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa.

Tim Pengembang Kurikulum dan Peningkatan Mutu Pendidikan, yang merupakan bagian dari program 100 hari Bupati Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, yang telah dilantik oleh Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi, Drs. Sulihtiyono, MM, M.Pd (Radar Banyuwangi, 7 Desember 2010), perlu mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat Banyuwangi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diharapkan memasukkan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dalam tiap-tiap satuan mata pelajaran di sekolah. Gagasan cemerlang yang dicetuskan oleh seorang tokoh dan pengawas pendidikan Banyuwangi itu, H. Masykur Ali, seharusnyalah mendapatkan respon positif dari semua pihak. Ini tak lain adalah untuk membentuk sebuah kerangka teknis di dalam mentransfer nilai-nilai luhur bangsa terhadap para peserta didik. Selama ini, tutor-tutor yang dibiayai oleh APBN yang bertugas untuk mengembangkan kurikulum di dalam dunia pendidikan dirasa kurang maksimal memberikan fungsi dan perannya. Sehingga dengan terbentuknya Tim Pengembang Kurukulum dan Peningkatan Mutu Pendidikan ini, akan mampu memaksimalkan kualitas kurikulum dan mutu pendidikan di Banyuwangi.

Salah satu hal terpenting untuk dilakukan dalam dunia pendidikan di Banyuwangi adalah adanya wujud kepedulian seluruh warga sekolah, yakni murid, guru, orang tua dan masyarakat terhadap kualitas pendidikan dan peserta didik. Hal ini merupakan respon positif terhadap dibentuknya Tim Pengembang Kurikulum dan Peningkatan Mutu Pendidikan yang telah dilantik baru-baru ini. Terbentuknya tim tersebut merupakan bentuk kepedulian guru, aktivis, dan tokoh pendidikan terhadap nilai-nilai pendidikan yang berkarakter di Banyuwangi.

Pendidikan berkarakter adalah bentuk transformasi positif terhadap para peserta didik untuk menghayati nilai-nilai kebangsaan. Di dalamnya termasuk penyesuaian terhadap perubahan jaman. Diharapkan guru dan warga sekolah dalam membentuk karakter pelajar diawali dari pintu gerbang masuk sekolah. Misalnya; anak yang tidak memakai atribut sekolah secara lengkap, baju yang tidak dirapikan, dan pelbagai hal yang tidak sesuai dengan ketentuan sekolah harus sudah dilakukan teguran oleh guru sejak di pintu gerbang sekolah itu. Ini artinya, guru memberikan perhatian yang maksimal bagi murid-muridnya untuk memberikan pendidikan karakter sejak awal dari tingkah laku dan sikap murid. Sikap dan tingkah laku murid yang menyimpang tidak dibiarkan tanpa teguran dan peringatan. Sebab, jika tingkah laku yang menyimpang itu dibiarkan akan berdampak pada buruknya karakter murid di mana ia tidak memahami secara mendalam arti dari suatu sikap yang baik. Di sinilah kunci penting dalam menyukseskan pendidikan berkarakter di dalam tiap-tiap satuan mata pelajaran.

Tim Pengembang Kurikulum dan Peningkatan Mutu Pendidikan diharapkan dapat memberikan suatu upaya teknis demi mewujudkan nilai-nilai luhur ke dalam sistem pendidikan di Banyuwangi. Di samping itu pula, tim tersebut diharap bisa melakukan pemantauan terhadap segenap aktivitas pendidikan di Banyuwangi guna mencapai pada mutu dan kualitas yang maksimal serta dirasakan oleh masyarakat. Pendidikan karakter akan mengalami kesulitan apabila fasilitas dan sarana pendidikan di Banyuwangi tidak menunjang. Sehingga pengawalan secara kritis dan upaya peningkatan mutu pendidikan benar-benar harus menjadi perhatian yang utama.

Pendidikan berkarakter ini akan mentransfer nilai-nilai luhur bangsa, agar pelajar memahami jati diri kebangsannya. Pelajar tidak hanya mengejar nilai prestasi, tetapi ia juga harus memiliki sikap pribadi yang mencerminkan keluhuran bangsanya. Nilai-nilai karakter bangsa itu, di antaranya adalah rasa menghargai sesama, pluralisme, kerukunan, kemanusiaan, persaudaraan, keramah tamahan dan lain-lain yang telah lama menjadi sikap hidup bangsa kita.

Kita berharap, Tim Pengembang Kurikulum dan Peningkatan Mutu Pendidikan yang telah digagas oleh tokoh pendidikan, H. Masykur Ali dan telah resmi dilantik oleh Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi itu, nantinya akan mengobati kegelisahan para orang tua di dalam mendidik dan membentuk pribadi anak-anaknya. Ke depan, Tim Pengembang Kurikulum dan Peningkatan Mutu Pendidikan ini diharapkan pula menjadi badan yang mengawal kualitas pendidikan di Banyuwangi guna mempermudah proses transformasi nilai-nilai kebangsaan kita. Semoga.

Banyuwangi, 2010

Penulis adalah guru SMP Negeri 4 Banyuwangi

Sekilas Biografi Agus Safari, S. Pd


Agus Safari lahir pada 5 Mei 1969 di Lingkungan Singomayan, Kelurahan Singonegaran, Banyuwangi. Ia terlahir dari pasangan Moh. Kahfi dan Sapiyah. Ayahnya adalah seorang pensiunan prajurit TNI AD yang bertugas di Batalyon 510 Macan Putih, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Agus adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara.
Agus menjalani pendidikannya mulai di bangku SD Negeri 3 Singonegaran, kemudian melanjutkan SMP dan SMA Islam Al-Khairiyah, Banyuwangi. Pada usia 9 tahun, Agus sudah ditinggalkan ayahnya yang meninggal pada usia 65 tahun, disusul setahun kemudian, ibunya meninggal dunia. Kondisi ini memaksa Agus untuk berupaya keras membiayai kebutuhan pendidikannya dengan berjualan pisang goreng keliling kampung. Di usia SMP, Agus ikut orang lain untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, hal ini dilakukan untuk membiayai kebutuhan hidup dan sekolahnya. Hingga menginjak SMA, Agus menjalani pekerjaan sebagai “pembantu umum” di SD Islam Al-Khairiyah. Sejak itulah, Agus mulai berkecimpung dalam dunia pendidikan. Sebagai pembantu umum, Agus harus melakukan aktivitasnya tiap pagi, bangun subuh dan membersihkan halaman-ruangan kantor dan kelas. Pekerjaan ini dijalaninya untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya di SMA.
Lulus dari SMA (1987-1988), Agus Safari merantau selama empat tahun di Jakarta sebagai kenek (kernet) sebuah bus kota yang disebut PPD (Perusahaan Penumpang Djakarta) dengan trayek Rawamangun-Blok M. Selama empat tahun itulah, Agus ditempa kehidupan yang keras di jalanan dan menghabiskan malam-malamnya di terminal Rawamangun, Jakarta. Sepulang dari merantau di Jakarta (1992), Agus memutuskan diri untuk pulang ke kota kelahirannya di Banyuwangi. Sejak tahun 1992, Agus mulai peka melihat kenyataan sosial di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi. Dengan hasil uang sebagai kenek PPD di Jakarta, Agus melanjutkan kuliah di IKIP PGRI Banyuwangi (1992), jurusan sejarah. Dalam perjalanan pendidikannya di perguruan tinggi, Agus Safari pernah menjabat Sekretaris Senat Mahasiswa IKIP PGRI Banyuwangi (1993). Semasa itu, ia aktif sebagai aktivis mahasiswa yang tampil di tengah-tengah ketimpangan masyarakat, di mana rezim Orba masih berkuasa.
Pada 1995, Agus menjabat sebagai Presidium Senat Mahasiswa se-Jawa Timur di Universitas Bangkalan, Madura (sekarang Universitas Trunojoyo). Agus memimpin sidang Senat Mahasiswa se-Jawa Timur dalam rangka menghadirkan Sri Bintang Pamungkas dan Adnan Buyung Nasution dalam sebuah kegiatan ilmiah mahasiswa dalam kampus. Ia juga pernah ditahan selama 10 hari di Polda Jatim atas tuduhan melakukan aksi mahasiswa yang menghadirkan dua tokoh kontroversial di masa Orba itu tanpa ijin dari aparat keamanan.
Sejak SMA, Agus Safari adalah aktivis sejumlah organisasi kepemudaan, di antaranya AMPI, FKPPI (1989-1991), dan Kepramukaan (1986 sampai sekarang).
Agus menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1997. Selepas mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, Agus mengabdikan diri pada sejumlah sekolah swasta SD, SMP, dan SMA Islam Al-Khairiyah, SMP PGRI I, STM PGRI I, STM Pradana, SMP Al-Irsyad Banyuwangi.
Karena kecenderungan Agus pada wilayah politik, maka Agus Safari berhenti mengajar selama dua tahun. Dalam waktu dua tahun itu, Agus pernah aktif di lembaga underbouw sebuah partai politik, PPP, ia terpilih sebagai ketua GPK (Gerakan Pemuda Ka’bah) pada tahun 1998 sampai 2002. Pergumulannya di dunia politik, membawa Agus menjabat ajudan Calon Gubernur Jatim, Brigjend (Purn) TNI AD, Abdul Kahfi-Ir. H. Ridwan Hisyam yang dicalonkan dari PKB pada tahun 2002. Setelah kegagalan Calon Gubernur Jatim tersebut, Agus kembali ke Banyuwangi dan menekuni sebuah lembaga swadaya masyarakat, yakni Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politik Lokal Banyuwangi. Agus Safari aktif melakukan kajian dan analisa kebijakan publik dan politik lokal Banyuwangi. Tulisan-tulisannya dimuat di Radar Banyuwangi. Pada akhir tahun 2003, Agus Safari mengikuti tes CPNS daerah di Banyuwangi, pada Sabtu 22 Nopember 2003, dan lulus tahap pertama ujian tulis. Pada tanggal 3 Desember 2003, Agus mengikuti ujian Psikotes, dan dinyatakan lulus kembali. Pada 19 Januari 2004, berdasarkan SK Bupati, Agus dinyatakan resmi sebagai CPNS Pangkat Penata Muda Golongan III/a untuk melaksanakan tugas sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Giri. Empat bulan kemudian, Agus Safari ditarik atau diberi tugas di kantor Pemda pada Bagian Umum sebagai Ajudan Bupati Banyuwangi, Ir. H. Samsul Hadi (2004-2005).
Pada tahun 2006, Agus kembali melaksanakan tugas sebagai Guru Madya di SMP Negeri I Giri, terhitung sejak 2 Januari 2006. Sejak itu pula, Agus kembali menekuni dan berkonsentrasi pada dunia pendidikan dengan segala dinamikanya.
Agus menikah pada tahun 1997 di usia 28 tahun. Agus menikahi seorang gadis lulusan Pondok Pesantren, Denanyar, Jombang, bernama Ilmi Nafi’ah. Empat tahun setelah pernikahannya tersebut, pada tahun 2001, Agus Safari dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Muhammad Farodis Azhari. Setahun kemudian, dia kembali dikarunia anak perempuan diberi nama Nila Ayu Rahmani.
Kini Agus tinggal di Banyuwangi dan terus aktif dalam dunia pendidikan di Banyuwangi.


Guru, Moralitas dan Profesi

Oleh: Agus Safari, S. Pd

Banyuwangi tidak terlepas dari kondisi global, di mana ruang dan waktu sudah sangat sempit. Banyuwangi secara geografis mendapatkan perhatian yang cukup istimewa, berada di antara selat Bali dan laut internasional, serta merupakan wilayah yang menjadi urat nadi transportasi Jawa-Bali, dan dinamika masyarakatnya yang majemuk dengan jumlah jiwa hampir 2 juta orang. Sedangkan jumlah guru di Banyuwangi kurang lebih mencapai 10 ribu orang. Sebuah angka yang cukup fantastik. Tentu saja, dengan melimpahnya tenaga pendidik di Banyuwangi, akan melahirkan out put (peserta didik) yang juga berkualitas. Namun pada kenyataannya, hal itu berbanding terbalik. Tingginya kuantitas guru di Banyuwangi, ternyata tidak diimbangi oleh tingginya kualitas guru, terutama pada tingkat profesionalitas guru dan moralitas seorang pendidik. Kita hari ini boleh berandai-andai adanya sesosok pendidik yang sejati. Namun kita tentu tidak akan berpaling dari kenyataan yang ada.

Profesionalitas lalu pada gilirannya adalah kapabilitas seorang pendidik serta moralitasnya, merupakan harga dan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di dunia ketiga ini (negara-negara berkembang), keberadaan seorang guru sangat menjadi sebuah kebutuhan yang vital. Di negara-negara maju, seorang guru dituntun profesionlitas, kapabilitas, dan integritasnya. Sebuah keharusan yang memang menjadi wajib. Di tengah perubahan waktu, di mana teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat, guru-guru kita di sini seolah pun terseret masuk ke dalam hiruk pikuknya. Integritas dan moralitas guru pun dipertaruhkan.

Guru dan Kontraproduktif

Ratusan guru melakukan demo di depan Pemkab Banyuwangi. Guru memperjuangkan hak-haknya dan melakukan protes terhadap bupati Banyuwangi. Dua sisi yang cukup menyulitkan bagi guru-guru yang tergabung dalam PGRI itu. Satu sisi, guru harus konsisten dalam tugasnya, sisi yang lain ia harus menuntut hak-haknya yang mereka kira kurang atau tidak dipenuhi oleh Pemkab. Kalau para guru itu melihat siapa yang memegang kebijakan, maka guru-guru akan kesulitan mengajar. Aksi mogak mengajar yang dilakukan guru-guru, tentu merugikan para peserta didik dan masyarakat (wali murid). Hak para murid akan terkorbankan, hak masyarakat untuk mendapatkan pengajaran terhadap anak-anaknya pun terkorbankan, ini sungguh kontraproduktif. Mogok mengajar pun menyalahi PP 30 dan PP74 Tentang guru, dan UU Pokok-pokok Kepegawaian. Guru adalah sosok yang sangat mulia, dan tentu saja ia harus melakukan aksi-aksinya juga dengan cara-cara yang lebih elegan dan simpatik. Ini memang membutuhkan sebuah kearifan dan ketahanan diri, menghadapi pelbagai persoalan pelik. Tentu saja guru tidak sendirian, ada banyak wali murid, ada banyak hal-hal yang jauh lebih baik untuk bisa menyalurkan aspirasinya, dan semua pihak lebih mengedepankan kehendak untuk menemukan solusi, bukan permasalahan baru.

Dalam sebuah filosofi Jawa, kita kenal istilah “Guru digugu lan ditiru”. Guru adalah sosok yang diperhatikan nasehatnya dan diteladani segala tindakannya. Nilai-nilai luhur ini merupakan sebentuk gambaran riil sosok seorang guru di dalam membangun peradaban manusia. Ia adalah orang yang secara keilmuan memiliki kemampuan di bidangnya, dan secara sosial-psikologis ia hidup di tengah-tengah masyarakat dengan segala jati dirinya sebagai manusia yang mencerminkan nilai-nilai keluhuran dari ilmu yang dimilikinya.

Sering kita mendengar dan melihat berita tentang penyimpangan sikap guru. Di antaranya, ada berita, misalnya, guru memperkosa muridnya, guru wanita main selingkuh dengan wartawan, guru melakukan korupsi, ada juga guru yang nekat melakukan bunuh diri, pengguna dan pengedar narkoba, dan masih banyak lagi yang terkesan tidak masuk akal jika dilakukan oleh seorang guru. Kita boleh cemas, tetapi kita juga tidak boleh kehilangan harapan. Kenapa demikian? Karena sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini, bahwa guru juga adalah manusia biasa yang juga masuk dalam pusaran waktu, dalam sebuah ruang waktu yang telah digerus oleh dahsyatnya globalitas dan lalu lintas budaya. Ketahanan mental dan keimanan seseorang, paling tidak di negeri timur ini, menjadi taruhan. Facebook, internet, dan masih banyak lagi teknologi informasi dan komunikasi yang menguasai segenap sektor kehidupan, memberikan peluang kepada siapa pun, termasuk guru, ikut ambil bagian di dalamnya. Dulu peluang untuk korupsi sangat kecil, karena mungkin kucuran dana dari pemerintah ke sekolah-sekolah tidak sebesar sekarang. Tetapi saat ini, peluang untuk korupsi sangat mudah dilakukan oleh oknum guru, misalnya banyak kasus BOS yang menjerumuskan guru ke dalam sel.

Lalu bagaimana kita mengatasinya? Tidak lain, kembali kepada persoalan pendidikan dan penghayatan budi pekerti. Ini pun harus dihayati oleh para guru beserta para muridnya. Menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan keluhuran budi adalah sesuatu yang sangat penting dibandingkan sekadar pengetahuan yang ditransfer ke dalam otak para peserta didik. Guru tidak hanya sebagai “mesin pengajar”, tetapi ia adalah seorang pendidik yang dengan integritasnya ia mendidik murid-muridnya dengan tingkah laku yang mulia. Kebiasaan dan budaya yang baik, memang diawali dari lingkungan sekolah. Pembebasan pola berpikir dan metode belajar-mengajar perlu dilakukan, namun tetap tidak meninggalkan batas-batas etika di dalam sebuah tindakan hidup. Ini menjadi sesuatu yang begitu dibutuhkan jika kita hendak membangun perabadan yang baik, menakar kualitas guru yang mumpuni, yang benar-benar “digugu lan ditiru”.

Paulo Friere, seorang filosof pendidikan berkebangsaan Brazil, menerapkan sebuah formula proses belajar-mengajar yang terbebaskan, yakni pendidikan kerakyatan yang bertujuan untuk memperluas cakrawala pendidikan yang tidak terhegemoni oleh sistem pendidikan yang sama sekali tidak berpihak pada kebebasan manusia. Namun, Friere dalam hal ini, menggariskan bahwa kebebasan yang diformulasikan adalah kebebasan beranalogi serta berlogika di dalam menyerap pelbagai ilmu pengetahuan dengan matang dan aplikatif. Kematangan dan kebebasan berpikir serta kehendak melahirkan peserta didik yang cemerlang, tidak serta merta menghilangkan ikatan sosial, budaya, dan kepercayaan (agama). Dalam pikiran Paulo Friere, justru pola dasar dari suatu pembebasan itu terletak dalam ikatan sosial-budaya serta agama di mana suatu proses pendidikan itu dijalankan.

Melihat persoalan ini, ada hal-hal yang perlu kita lakukan di Banyuwangi. Yakni, sejak dini kita harus menyusupkan lebih dari 50% pendidikan etika dan moralitas, agama dan budi pekerti. Mungkin secara teknis, sekolah-sekolah kita dapat melakukan kegiatan rutin berupa pembinaan mental dan rohani yang diikuti oleh para murid dan guru-gurunya. Adanya komunikasi secara intensif antara guru dan wali murid, antara guru dan muridnya, dengan membiasakan melakukan sebentuk kegiatan silaturahmi atau “home visit”. Di samping itu, menanamkan pengetahuan moral dan agama secara mendalam, serta mengaktifkan pelbagai kegiatan yang positif di sekolah.

Akhirnya semua tidak akan bisa diatasi tanpa peran semua pihak di dalam kehendak bersama demi kebaikan suatu generasi dan para pendidiknya. Ini adalah tantangan yang kita hadapi hari ini.

Banyuwangi, 14 Pebruari 2010