Rabu, 08 Desember 2010

Jati Diri Gerakan Pramuka vs Gerakan Kepanduan


Oleh: Agus Safari, S. Pd

PADA pertemuan pembina pramuka, saya pernah berkelakar, andai saja pramuka jadi partai politik barangkali dapat memenangkan Pemilu. Alasan saya sederhana, lantaran secara keanggotaan semua orang sudah pernah menjadi pramuka dan merasakan betapa kegiatan pramuka penuh nuansa semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Sudah saya tebak sebelumnya, bahwa ide guyon tersebut tidak mendapatkan sambutan. Semua pembina pramuka yang hadir menyatakan tidak sependapat dengan apa yang saya lontarkan. Bahkan ada yang menangggapi serius berdirinya pramuka bukan untuk menyusun kegiatan yang menjurus ke partai politik, namun lebih terfokus kepada pembinaan generasi muda.

Dalam benak, 'umpan saya terpancing'. Apa yang saya lontarkan sebenarnya hanya sebuah pencerahan pemikiran lantaran sudah lama stakeholders pramuka hanya berpandangan homogen. Tidak pernah ada dinamika pemikiran yang merupakan refleksi dari perlunya pramuka untuk berwawasan ke depan memikirkan perkembangan pramuka yang lebih bercorak transformatif.

* * *

SEJUJURNYA konsep ikhlas bakti bina bangsa berbudi bawa laksana dalam pendidikan kepramukaan, sangatlah sesuai untuk negeri ini, bukan 'ikhlas harta demi kedudukan'. Hal menarik dari konsep tersebut semata-mata mengajak seluruh komponen bangsa agar memberikan setitik bakti untuk negeri, teguh pada pendirian, dan menepati apa yang dikatakan.

Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan yang berbunyi sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali, yang dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk mewujudkan apa yang telah diucapkan. Kristalisasi dari ungkapan itu adalah perlunya pemimpin memiliki sifat bawa laksana. Dalam filsafat Jawa, seorang raja (dan tentunya, demikian pulalah seorang pemimpin) harus memiliki sifat bawa laksana di samping sifat-sifat baik lainnya.

Ini tercermin dari ungkapan yang sering diucapkan Ki Dalang dalam setiap lakon wayang, yang berbunyi: dene utamaning nata, berbudi bawa laksana (sifat utama bagi seorang raja adalah bermurah hati dan teguh memegang janji).

Sifat bawa laksana dianggap mempunyai nilai yang sangat tinggi, sehingga ia harus dimenangkan apabila terjadi benturan dengan nilai-nilai lain, termasuk nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Etika bawa laksana ini mengandung nilai yang bersifat universal. Di mana pun dan kapan pun juga, sikap tersebut pasti diakui sebagai mengandung nilai filsafat yang baik dan perlu dipegang teguh oleh semua orang, tidak terkecuali para anggota pramuka.

Untuk mewujudkan nasionalism caracter building, secara teknis dapat ditempuh dengan pertajam serangkaian kegiatan yang bernuansa patriotisme dan cinta lingkungan sekitar secara spesifik dengan mengaktifkan kegiatan di Gugus Depan sebagai basis pembinaan generasi muda. Kegiatan bersifat menantang yang merupakan refleksi dari pentingnya kebersamaan perlu ditingkatkan lebih aplikatif sebagai wujud pengamalan Dasa Darma Pramuka. Penjiwaan dan transformasi aktual kepramukaan secara konsisten akan menjadi sebentuk proses perlawanan terhadap pengaruh global. Nasionalisme dan etika ketimuran pemuda hari ini telah tergantikan oleh kebiasaan baru bersamaan dengan marak dan mudahnya komunikasi dan informasi yang menciptakan segala sikap ‘instan’ dan membunuh kreatifitas.

Sejumlah wakil rakyat kita di DPR RI, beberapa waktu yang lalu, melakukan Kunker atau studi banding ke Afrika Selatan, Jepang, dan Korea Selatan tentang Gerakan Kepramukaan. Studi banding itu nantinya akan dijadikan dasar untuk diterapkan dalam Gerakan Kepramukaan di Indonesia. Hal tersebut bukan sesuatu yang salah. Karena sistem dan konsep organisasi modern seperti pramuka perlu mendapatkan telaah bandingan dari negara-negara yang telah “mapan”. Namun, perlu kita sadari bersama, bahwa Indonesia memiliki ciri khas tersendiri di dalam melakukan gerakan-gerakan kepramukaan dan penerapan sistem serta corak organisasinya yang dilandasi oleh budaya dan sejarah bangsa kita. Ini artinya, budaya dan sejarah kita sebagai sebuah jati diri memiliki peranan penting di dalam kehidupan berbangsa dan berorganisasi.

* * *

Sejak Indonesia diproklamasikan, gerakan Pramuka belum pernah memiliki payung undang-undang. Menurut Darmanto Djojodibroto, seorang sesepuh Pramuka yang sekarang bermukim di Malaysia, kepramukaan di Indonesia bergerak berdasarkan Keputusan Presiden RI No.238 Tahun 1961 Tentang Gerakan Pramuka.

Keputusan Presiden ini menyatakan bahwa, (1) penyelenggaraan pendidikan kepanduan ditugaskan kepada Gerakan Pramuka; (2) pramuka adalah satu-satunya badan yang diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan kepanduan, dengan Anggaran Dasar organisasi telah disediakan pemerintah; (3) masyarakat dilarang membentuk perkumpulan yang menyerupai pramuka; (4) surat Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada 20 Mei 1961.

Keputusan Presiden ini membuat beberapa gerakan Pramuka seperti Hizbul Wathan yang bernaung di bawah Muhammadiyah harus melebur ke Gerakan Pramuka. Sejak 1961 itu, kepanduan-kepanduan partikelir terpaksa tiarap dan baru muncul kembali ketika Reformasi bergulir pada 1998. Kepanduan pun kembali marak.

Maraknya kepanduan tidak terlepas dari kelemahan. Sehingga pada 1960-an lahilah PERKINDO (Persatuan Kepanduan Indonesia). Masih adanya rasa golongan yang tinggi membuat Perkindo terlihat rapuh. Kerapuhan gerakan kepanduan Indonesia akan dipergunakan oleh pihak komunis agar menjadi gerakan Pioner Muda seperti yang terdapat di negara komunis. Akan tetapi kekuatan Pancasila dalam Perkindo menentangnya dan dengan bantuan perdana Menteri Ir. Juanda maka perjuangan menghasilkan Keppres No. 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka yang pada tanggal 20 Mei 1961 ditandatangani oleh Pjs. Presiden RI Ir. Juanda karena Presiden Soekarno sedang berkunjung ke Jepang. Jika hal ini kembali terulang pada saat ini bersamaan akan disahkannya RUU Kepramukaan, bukan lagi paham komunisme yang akan “membonceng” dalam gerakan kepanduan tersebut. Tetapi, sikap etnosentrisme dan sektarianisme yang justru lebih menghegemoni gerakan kepanduan di tanah air. Sehingga menjadi sebuah harga mati, bahwa Undang-undang Pendidikan Kepramukaan harus tidak berbentuk kepanduan dan tidak terlepas dari Pancasila.

DPR RI periode 2009-2014 kemudian menyikapi kondisi ini dengan membuat RUU untuk memayunginya. Awalnya muncul perdebatan mengenai judul, "Gerakan Pramuka" atau "Kepramukaan." Akhirnya, nama resmi yang dipakai adalah RUU Pendidikan Kepramukaan.

Nama ini menjadi penting karena berimplikasi pada pengakuan atas gerakan kepanduan lain selain Pramuka. Dengan begini, Hizbul Wathan atau kepanduan lain diakui sebagai Pramuka. Namun posisi Kepanduan PKS masih diperdebatkan karena sejak awal dikonsep, Pramuka itu tidak boleh partisan. Hal krusial lainnya, kepanduan juga tidak harus berbasis di sekolah seperti yang berlaku saat ini.

Setelah mengurai Kepramukaan di atas, di sinilah menjadi penting, bahwa RUU Pendidikan Kepramukaan nantinya tidak terjebak pada semangat sektarian dan partisan. Sehingga secara subtansial Gerakan Pramuka sebagai gerakan kebangsaan tidak terkontaminasi oleh kehendak praktis, sektarian, dan menjadi komoditas politik. Dengan demikian, kita berharap agar para wakil rakyat kita yang duduk di DPR RI dapat segera mengesahkan RUU Pendidikan Kepramukaan sebagai wujud revitalisasi Gerakan Pramuka yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tahun 2009, yakni sebuah rancangan yang tidak menyimpang dari jati diri Gerakan Pramuka itu sendiri, yakni gerakan kebangsaan yang bersifat prural dan inklusif. Semoga..



*). Penulis adalah Sekretaris
Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Banyuwangi.
Masa Bhakti 2005-2009.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar