Rabu, 08 Desember 2010

KETUA PGRI TIDAK MEMPERJUANGKAN NASIB GURU

Oleh: Agus Safari, S. Pd

Ketua Pengurus Kabupaten (PK) PGRI Banyuwangi, Husin Matamin, menyatakan di Radar Banyuwangi (17/7), bahwa uang pungutan terhadap para anggota PGRI untuk iuran pembangunan gedung PGRI adalah sebesar Rp60.000,-. Sebenarnya pungutan itu sebesar Rp100.000,- sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Sekretaris PGRI.

Ketika PGRI akan membangun gedung, perlu diketahui oleh seluruh anggota PGRI Banyuwangi, bahwa ternyata tanah yang akan digunakan untuk membangun gedung PGRI Banyuwangi tersebut masih berada dalam status sengketa, yaitu bahwa tanah tersebut bukan atasnama Yayasan PGRI Banyuwangi, tetapi atasnama pribadi seorang pengurus yayasan PGRI. Jika hal ini dipaksakan untuk didirikan gedung diatas sebidang tanah itu, dikhawatirkanahli waris pemilik tanah tersebut akan menggugat. Sehingga akan berdampak pada kerugian materiil para guru atau anggota PGRI.

Di samping itu, kerja beberapa oknum pengurus PGRI tidak mencerminkan profesionalitas. Hal ini dapat kita lihat dari permasalahan pembuatan KTI (Karya Tulis Ilmiah) untuk persyaratan kenaikan pangkat guru dari IV a ke IV b, oknum PGRI memanfaatkannya dengan memperjual-belikan KTI tersebut (membuatkan sebuah KTI dengan nilai uang), hal ini sudah pernah dilaporkan ke pihak Kejaksaan Negeri Banyuwangi, namun hingga kini belum ada pengusutan secara serius. Para guru diharuskan membuat KTI kepada oknum pengurus PGRI, sehingga pengajuan pangkatnya dijamin mulus, dan bagi guru yang tidak menggunakan jasa oknum pengurus PGRI akan tergerus dan tidak lulus . Mereka para guru yang membuat KTI sendiri dengan karyanya sendiri yang orisinil, justru terbengkalaikan. Cara-cara ini merupakan pembodohan terhadap guru dan menjadikan guru tidak kreatif, tidak berkualitas, tidak inovatif, tertekan, serta membatasi ruang profesional bagi guru. Selain itu, PGRI adalah organisasi profesi yang sama dengan organisasi masyarakat lain, bukan organisasi pemerintah seperti Korpri. Tapi justru PGRI mendapatkan fasilitas lebih dari Pemkab dengan diberi fasilitas transportasi berupa mobil operasional yang berplat merah. Seharusnya jika Pemkab hendak memberi fasilitas transportasi kepada PGRI, semesetinya bersifat bantuan atau hibah, bukan sebuah mobil yang berplat merah sebagai identitas nomor kendaraan milik pemerintah. Sebenarnya Korpri yang merupakan organisasi resmi pemerintah yang lebih tepat mendapatkannya, terbukti Korpri sendiri tidak memiliki fasilitas sebagaimana yang dimiliki PGRI. Ini adalah bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Kalau PGRI mendapat  fasilitas mobil dinas, mengapa yang lain tidak? Pemkab harus menarik kembali mobil itu karena masih banyak dinas-dinas dan kantor-kantor yang lebih membutuhkannya.

Di mana-mana oknum pengurus PGRI mengklaim mewakili dan memperjuangkan nasib guru, namun pada dasarnya hal itu hanya membesarkan diri mereka sendiri. Ini sebuah ironi pendidikan kita di Banyuwangi.

Nasib guru, demikian seringkali didengungkan di mana pun pertemuan, di mana pun persoalan-persoalan pendidikan dibahas dalam lingkup formal maupun non formal. Betapa penting dan berharganya peran guru tak seberharga dan semulia nasibnya di dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Guru adalah sosok manusia yang memiliki idealisme karena ia menjalankan perannya untuk memberikan pencerahan terhadap anak didiknya. Tingkah laku dan sikap seorang guru adalah cermin kematangan pengetahuannya sebagai teladan bagi anak didiknya, yang dalam filosofi Jawa adalah sosok yang "digugu" dan "ditiru", yakni "ditaati" dan "diteladani".

Nah, bagaimana mungkin PGRI dapat dijadikan teladan moral bagi para peserta didik dan masyarakat umum, jika PGRI melalui oknum-oknumnya melakukan banyak hal yang bertentangan dengan etika moral, yakni dengan melakukan banyak pelanggaran sistem dan peraturan-peraturan yang ada? Oknum adalah segelintir orang dalam sebuah komunitas yang besar. Bila oknum itu hanya satu atau dua orang saja yang melakukan hal-hal menyimpang, itu masih bisa kita atasi. Tapi, kalau yang menjadi oknum itu hampir semua pengurus PGRI, inilah kiamat yang sebenarnya atau lebih tepat kita katakan, sebentuk pelanggaran yang dilakukan secara berjama'ah (rame-rame).

Betapa mulia peran dan manfaat seorang guru. Alangkah hebat dan kuatnya karakter seorang guru sebagai pondasi utama di dalam tugasnya mencerdaskan dan membentuk karakter building suatu bangsa-negara. Posisi guru juga mendapatkan tempat yang sangat terhormat di dalam ajaran budaya dan agama mana pun di dunia ini, dalam perjalanan sejarah umat manusia. Tapi kita juga harus menyadari, bahwa guru juga seorang manusia biasa. Seorang manusia yang juga merasakan lapar dan dahaga seperti halnya manusia yang lain, merasakan lelah dan jenuh di tengah kesibukannya, pun dapat mengeluh ketika ia merasakan kesulitan yang luar biasa di dalam kehidupannya.

Organisasi guru seperti PGRI, masih saja kita lihat sebagai peran formal yang melegalisasi keberadaan guru sebagai "mesin pengajar" bukan sebagai 'manusia yang memberikan pencerahan terhadap kehidupan'. Pemerintah pun mesti melihat guru-guru sebagai manusia yang tidak hanya ditagih kewajibannya, tapi belum terpenuhi hak-haknya.

Di samping itu juga, banyak guru kita yang mengalami diskriminasi, baik dalam memperoleh hak-haknya, misalnya mengenai kenaikan pangkat, kesejahteraan, dan beberapa guru ada yang menghadapi persoalan hukum. Siapa yang akan membela mereka jika hal ini terjadi terhadap diri mereka? Tentu saja, kalau kita mau menyebutnya, seharusnya pembelaan hukum itu dilakukan oleh organisasi guru yang bernama PGRI. Dalam organisasi PGRI terdapat badan atau devisi hukum, yang tentu saja ini bertugas untuk membela para guru yang terjebak dalam persoalan hukum. Benar atau salah itu adalah urusan pengadilan, namun proses hukum yang dijalani seorang guru harus mendapatkan perhatian dan perlindungan, pembelaan dan pengayoman dari PGRI. Di sini arti pentingnya sebuah organisasi itu didirikan. Namun pada kenyataannya, banyak kasus guru yang sama sekali tidak dibela atau dibantu oleh PGRI Banyuwangi dalam hal proses hukumnya. Banyak kasus masalah kepangkatan, kasus pidana, dan lain-lain kasus yang melibatkan seorang guru, ternyata tidak mendapatkan pembelaan hukum dan bantuan hukum dari PGRI, malah PGRI hanya membiarkan saja tanpa melakukan advokasi. Di sini kemudian kita bertanya, apa makna PGRI yang beranggotakan kurang lebih 10.000 orang anggota, bagi guru-guru kita yang terkena masalah-masalah hukum dan kelayakan hidup? Lalu ke mana dana kas PGRI yang "disuntikkan" oleh para guru (melalui iuran-iuran) dan anggaran Pemkab itu jika persoalan-persoalan guru di Banyuwangi sama sekali tidak pernah terselesaikan?

Banyuwangi, 17 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar