Rabu, 08 Desember 2010

KPUD Sumber Konflik Pemilukada


Oleh: Agus Safari, S. Pd

Pemilukada Kabupaten Banyuwangi 2010 sudah di depan mata. Dan seperti biasanya, perhelatan pesta demokrasi lima tahunan ini kembali diwarnai konflik. Lagi-lagi konflik menajam karena KPUD Banyuwangi yang “bermanuver” mengenai syarat administrasi calon yang mendaftar ke KPUD Banyuwangi sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Banyuwangi 2010. KPUD Banyuwangi menggagalkan pasangan Brigjen Mulyono-Untung Harjito (diusung Partai Hanura, PPP dan PKNU) dan pasangan Ratna Ani Lestari-Pebdi Arisdiawan (diusung Partai Golkar dan 14 Partai Non Parlemen). Alasan KPUD menggagalkan kedua pasangan tersebut, karena adanya dua kepengurusan PKNU Banyuwangi dan penonaktifan Pebdi Arisdiawan dari jabatan ketua PD Partai Golkar Banyuwangi dan tidak direkomendasi oleh DPP Partai Golkar. Sehingga berkas pendaftaran kedua pasangan tersebut dianggap tidak memenuhi syarat administrasi sebagaimana yang ditetapkan oleh pleno KPUD Banyuwangi. Di sisi lain, Panwaslu mengakui pendaftaran kedua pasangan tersebut, hal ini didasarkan bahwa semua persyaratan RAPI (Ratna-Pebdi) telah memenuhi syarat dan tidak ada satupun yang kurang. KPUD mengeluarkan surat penetapan Tanggal 12 Mei 2010, bahwa pasangan RAPI tidak memenuhi syarat dukungan partai politik pengusung. Padahal justru persyaratan dukungan sudah melebihi dari 15%. KPUD Banyuwangi menganggap tidak sah karena Pebdi Arisdiawan mendapatkan surat penonaktifan dari DPD Partai Golkar Jatim pada tanggal 19 Mei 2010. Semestinya ketika Pebdi Arisdiawan sebagai ketua PD Partai Golkar Banyuwangi ditetapkan sebagai pengurus melalui SK, maka seharusnya penonaktifannya juga melalui SK pula, tidak hanya dengan surat. Dan kenapa KPUD Banyuwangi justru mengambil keputusan menggagalkan pasangan RAPI berdasarkan surat, bukan SK? Di sini letak kejanggalannya. Alasan lain, KPUD Banyuwangi menganggap Pebdi Arisdiawan tidak mendapatkan rekomendasi DPP Partai Golkar, padahal dalam peraturan KPU syarat pendaftaran calon cukup didaftarkan oleh ketua dan sekretaris partai di tinggkat daerah, mengenai rekomendasi DPP partai terhadap calon yang mendaftar itu adalah persoalan internal partai yang bukan wewenang KPUD Banyuwangi.


Persoalan inilah yang memicu konflik antara KPUD Banyuwangi dengan Panwaslu dan juga melibatkan pendukung calon yang gagal. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan, di mana letak masalah administrasi calon yang dinyatakan gagal oleh KPUD Banyuwangi? KPUD Banyuwangi seharusnya lebih bersikap fair dan akutable dalam persoalan ini, dan Panwaslu sebagai lembaga pengawas Pemilukada Banyuwangi juga harus lebih menekankan pada penyelesaian permasalahan dengan melakukan investigasi terhadap sengketa Pemilukada. Panwaslu juga harus melakukan tugasnya secara konsisten. Jika KPUD Banyuwangi menarik permasalahan bahwa salah satu anggota Panwaslu adalah merangkap sebagai pengurus parpol, apakah sejumlah anggota KPUD Banyuwangi tidak terlepas dari masalah, ketika perekrutan sebagai anggota KPUD Banyuwangi? Apabila persoalan ini dipertajam pada wilayah tersebut, maka konflik yang terjadi saat ini sudah tidak sehat.
 

Dugaan-dugaan lain juga muncul di permukaan publik. Misalnya ijazah salah satu calon belum dinyatakan akurat secara hukum, dan publik belum mengetahuinya secara jelas. Di samping itu, muncul pula dugaan bahwa ada anggota KPUD Banyuwangi yang mendukung salah satu pasangan calon bupati Banyuwangi. Persoalan menjadi runyam. Koridor rule of game secara fair tidak lagi menjadi dasar di dalam mengambil suatu keputusan bersama. Ini yang menyebabkan Banyuwangi pra dan pasca Pemilukada menyisakan konflik yang tidak kunjung usai. Bupati dan wakil bupati terpilih nantinya akan kesulitan melaksanakan program-program pembangunan daerah secara maksimal, rakyat kembali terkorbankan. Lagi-lagi konflik Pemilukada, seperti yang terdapat di banyak daerah lain, dipicu dari sikap dan keputusan KPUD. Hal ini tidak dapat kita pungkiri, ketika para anggota KPUD berada dalam tarik-ulur kepentingan praktis dan mereka larut dalam tarik ulur kepentingan tersebut. Semestinya, baik KPUD dan Panwaslu bersikap obyektif dan membuktikan obyektivitasnya secara transparan dan konstitusional. Kita boleh kecewa, tetapi tentu saja kita tidak boleh kehilangan harapan dan semangat. Sebab, aturan hukum yang berlaku adalah dasar utama di dalam segala sikap politik. Jangan sampai pula, persoalan ini nantinya akan membakar konflik sosial sebagaimana yang terjadi di Mojokerto, berdarah-darah dan berasap. Tentu rakyat Banyuwangilah yang akan menelan “kapsul pecah” yang pahit rasanya.
 
Dalam hal ini, KPUD Banyuwangi terkesan bersikap normatif terhadap persoalan Undang-undang Pemilu dan Peraturan KPU, tidak mampu bersikap lebih proaktif terhadap masalah administrasi calon yang mendaftar. Seharusnya, di samping tahapan Pemilukada terus berjalan (selama proses ferivikasi), KPUD Banyuwangi juga melakukan kontrol dan konfirmasi secara terbuka terhadap keabsahan syarat yang diajukan calon sebagai sebuah pertanggungjawaban hukum dan publik. Sehingga dengan demikian, keputusan KPUD tidak terlihat sebagai suatu keputusan yang dianggap “keliru”. Kenapa hal ini terjadi? Tentu saja kita memahaminya sebagai suatu cerminan lemahnya independensi KPUD Banyuwangi dari arus pengaruh kepentingan politik. Ada anggapan-anggapan bahwa calon incumbent itu sangat kuat dan tak terkalahkan, sehingga sejumlah calon lain selain incumbent berupaya semaksimal mungkin agar dalam Pemilukada tidak diikuti oleh calon incumbent. Ini hanya anggapan politik, namun toh kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan yang terjadi. Skenario “asal bukan incumbent” (ABI) menjadi isu sentral Pemilukada di Banyuwangi, dan mungkin juga di daerah-daerah lain. Dan apakah KPUD Banyuwangi tidak terlepas dari skenario politik “asal bukan incumbent” tersebut? Mari kita cermati bersama. Dalam hal ini pula, KPUD Banyuwangi juga harus ingat, bahwa anggota KPUD yang incumbent toh tetap kuat menjabat kembali sebagai anggota KPUD Banyuwangi, bukan?

Memang tidak heran jika KPUD Banyuwangi kini menjadi sumber pemicu konflik Pemilukada 2010, karena kelahirannya saja sudah “sungsang” atau bermasalah, yakni perekrutan para anggota KPUD Banyuwangi banyak terjadi ketidakberesan, baik dari anggota yang mendaftar maupun dari panitia Tim Seleksinya. Karena proses kelahirannya saja mengalami masalah administrasi, sehingga lahirlah para anggota KPUD Banyuwangi yang banyak masalah.


Banyuwangi, 23 Juni 2010

Koordinator Lembaga Kajian
Kebijakan Publik dan Politik Lokal Banyuwangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar