Rabu, 08 Desember 2010

Nasib guru dan Sistem Pendidikan di Banyuwangi (Dalam Rangka Menyongsong Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2009)


Oleh: Agus Safari, S.Pd


Dunia pendidikan adalah wilayah mendasar dalam kehidupan masyarakat kita, sebagaimana amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan dalan UUD 1945 ialah mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran penting dalam dunia pendidikan adalah peran penting seorang guru untuk mentransfer ilmu pengetahuan bagi anak didiknya.

Peran dan fungsi seorang guru adalah sesuatu yang vital di dalam sistem pendidikan yang dijalankan sebagai sebuah pengejawantahan Undang-undang Dasar 1945. Peran seorang guru dengan demikian menjadi kebutuhan yang paling aktual dan urgen di dalam tetap eksisnya sistem pendidikan yang kita jalankan. Ini menjadi tanggungjawab semua lapisan masyarakat terutama pemegang kebijakan formal, yakni negara.

Nasib Guru

Nasib guru, demikian seringkali didengungkan di mana pun pertemuan, di mana pun persoalan-persoalan pendidikan dibahas dalam lingkup formal maupun non formal. Betapa penting dan berharganya peran guru tak seberharga dan semulia nasibnya di dalam menjalani kehidupannya sehar-hari. Guru adalah sosok manusia yang memiliki idealisme karena ia menjalankan perannya untuk memberikan pencerahan terhadap anak didiknya. Tingkah laku dan sikap seorang guru adalah cermin kematangan pengetahuannya sebagai teladan bagi anak didiknya, yang dalam filosofi Jawa adalah sosok yang "digugu" dan "ditiru", yakni "ditaati" dan "diteladani".
Dalam dinamika pergaulan global, guru menempati posisi yang paling faktual fungsi dan perannya, manfaat dan jasanya. Di Cina dan Jepang, guru adalah seorang manusia yang harus dihormati secara berlebihan, hal ini karena seorang guru adalah pilar ketahanan moral dan ilmu pengetahuan yang menjadikan beradab tidak beradabnya suatu bangsa.

Betapa mulia peran dan manfaat seorang guru. Alangkah hebat dan kuatnya karakter seorang guru sebagai pondasi utama di dalam tugasnya mencerdaskan dan membentuk karakter building suatu bangsa-negara. Posisi guru juga mendapatkan tempat yang sangat terhormat di dalam ajaran budaya dan agama mana pun di dunia ini, dalam perjalanan sejarah umat manusia. Tapi kita juga harus menyadari, bahwa guru juga seorang manusia biasa. Seorang manusia yang juga merasakan lapar dan dahaga seperti halnya manusia yang lain, merasakan lelah dan jenuh di tengah kesibukannya, pun dapat mengeluh ketika ia merasakan kesulitan yang luar biasa di dalam kehidupannya.

Sehebat apa pun peran guru, kita lihat kenyataannya tidak sehebat penghargaan orang lain terhadap kehidupan mereka. Guru seringkali dijadikan atau dianggap sebagai "mesin pengajar", sebagai mesin yang harus terus-menerus melakukan tugasnya tanpa mendapatkan kelayakan untuk beristirahat dan merasa tenang dengan kondisi hidupnya. Mesin adalah benda yang terus-menerus bekerja dan terus-menerus beraktivitas tanpa memiliki lelah dan tidak punya perasaan. Sistem formal kita masih menempatkan posisi guru sebagai mesin, mereka tidak dihargai perasaannya, tidak diakomodasi keluhan-keluhannya, tidak diperhatikan hak-haknya. Kita hanya menagih kewajiban guru sebagai "mesin pengajar", bukan sebagai manusia biasa yang memiliki kesamaan dengan siapa pun di dunia ini.

Organisasi guru seperti PGRI, masih saja kita lihat sebagai peran formal yang melegalisasi keberadaan guru sebagai "mesin pengajar" bukan sebagai 'manusia yang memberikan pencerahan terhadap kehidupan'. Pemerintah pun mesti melihat guru-guru sebagai manusia yang tidak hanya ditagih kewajibannya, tapi belum terpenuhi hak-haknya.

Dalam sistem pendidikan, guru terkadang juga keluar dari hakikat filosofis seorang guru. Ada juga guru yang melakukan tindakan-tindakan asusila, kekerasan, dan tindakan tidak beradab lainnya. Kepala sekolah yang tidak tegas tapi juga nggeragas, kurang beradab tapi juga celutak. Dari sisi kemanusiaan, hal itu tidak mengherankan. Tiap manusia itu wajib memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun terlepas dari itu semua, guru adalah pilar kehidupan yang paling penting di dalam menjaga nilai-nilai peradaban kita. Ini artinya, perhatian terhadap kesejahteraan dan penghargaan yang berupa memberikan hak-hak guru secara manusiawi dan dijaga undang-undang harus diupayakan semaksimal mungkin. Hal ini menjadi ukuran keberadaban suatu bangsa, suatu lingkup masyarakat dalam dimensi yang kecil.




Guru dan Sistem Pendidikan di Banyuwangi

Pemerintah sebagai penyalur anggaran pendidikan memiliki kebijakan formal yang sangat penting di dalam sistem formal pendidikan. Anggaran pendidikan yang dialokasikan sebanyak 20% lebih, ternyata belum memberikan kontribusi yang cukup membantu di dalam mengatasi problem dunia pendidikan. Hal ini karena sistem penyaluran dana secara birokratis masih dititik-beratkan pada wilayah materiil dan infrastruktur (fisik) pendidikan, inipun selalu mengalami pelbagai kebocoran. Penitik-beratan alokasi dana 20% pada bidang materiil dan infrastruktur tersebut menyebabkan terbengkalainya kebutuhan pendidikan pada dimensi kebutuhan peserta didik dan tenaga pendidik. Sehingga tidak mengherankan jika kita masih menemukan realitas guru-guru di Banyuwangi melakukan demo menuntut alokasi dana kesejahtraan mereka, juga adanya anak-anak yang tidak mampu melanjutkan sekolahnya. Alokasi anggaran dana 20% untuk pendidikan terasa belum berarti secara subtansial bagi kebutuhan pendidikan secara efektif dan mendasar. Sedangkan untuk kebutuhan kesejahteraan guru, kualitas dan kebutuhan peserta didik di dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar, belum tersentuh 5% pun dari 20% anggaran yang telah dialokasikan pemerintah. Hal ini sama halnya bahwa pemerintah telah melenceng dari ketentuan Undang-Undang untuk memaksimalkan 20% anggaran tersebut.

Ketidak-efektifan dan kurang maksimalnya penyaluran anggaran yang hanya menitik-beratkan pada kebutuhan materiil dan infrastruktur itu, menyebabkan kesejahteraan guru dan peserta didik terkorbankan. Tercukupinya kebutuhan materiil dan infrastruktur tidak bisa membantu secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan guru serta kualitas mereka, juga mengabaikan kemampuan anak didik di dalam melanjutkan pendidikannya sampai selesai.

Pemerintah Kabupaten dalam hal ini, mesti melakukan terobosan kebijakan untuk melakukan penyeimbangan anggaran dari alokasi dana 21% untuk pendidikan, yakni pada alokasi kebutuhan non-fisik, seperti penyediaan buku-buku perpustakaan di sekolah, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pendidik, memenuhi kebutuhan peserta didik yang kurang mampu di dalam menyelesaikan tugas belajar secara formal di sekolah. Pencapaian ini harus disertai oleh pelaksanaan sistem pendidikan secara fungsional itu sendiri. Menjadi tolok ukur yang penting, bahwa pelaksanaan sistem pendidikan secara fungsional adalah pengemban terobosan kebijakan yang akan diselenggarakan. Mengenai sistem pendidikan secara fungsional dalam tataran birokrasi pendidikan di daerah, harus ditunjang dengan kuatnya struktur kependidikan dalam wadah organisasi perangkat daerah (OPD).

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang OPD Pasal 17 Hal. 17 Ayat 1 sampai 6, bahwa kecamatan tidak membawahi pendidikan dan kesehatan. Permendagri No. 57 Tahun 2007 Tentang petunjuk teknis OPD, kecamatan tidak membawahi bidang pendidikan dan kesehatan. Perda No. 02 Tahun 2008 yang ditandatangani pada Tgl 05 Mei oleh Bupati dan Sekda sebagai ketua Baperjakat Tgl 12 Mei 2008, bahwa UPTD TK/SD SLTP/SLTA masih berada di bawah kewenangan Dinas Pendidikan. Sudah jelas bahwa tidak ada bunyi yang mengatakan bahwa Kecamatan membawahi pendidikan dan kesehatan. Ini secara konsisten harus dilaksanakan demi tercapainya sebuah sistem yang akurat berada dalam aturan undang-undang. Jika hal ini terjadi pelanggaran, maka efektifitas sistem pendidikan yang dijalankan di Banyuwangi akan menyebabkan kerugian bagi wilayah sistem itu sendiri, yakni pendidikan kita secara makro dan mikro. Kuatnya struktur pendidikan yang mendasarkan dirinya kepada ketentuan undang-undang akan membantu kelancaran sistem pendidikan di dalam memenuhi kebutuhan paling vital di tengah masyarakat. Dengan demikian, apabila Pemkab akan mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup), maka Pemkab harus menyesuaikan peraturan yang akan diterbitkan tersebut sesuai dengan peraturan yang mengatur di atasnya.

Kebutuhan dunia pendidikan harus ditunjang oleh kuatnya sistem dan perangkat sistem itu sendiri. Acuan utama di dalam melakukan pencapaian tersebut adalah mekanisme dan regulasi undang-undang serta kebutuhan publik secara esensial. Dengan demikian, persoalan-persoalan pendidikan akan kita atasi dengan tidak mengabaikan kebutuhan vital dari dunia pendidikan itu sendiri, yakni tenaga pendidik serta peserta didik. Barulah kemudian kita akan memikirkan bagaimana kesejahteraan guru dan kebutuhan peserta didik di dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Semoga.


Banyuwangi, 2 Mei 2009

Penulis adalah guru SDN 2 Tamansari,
Kecamatan Licin-Banyuwangi. Tinggal di Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar