Rabu, 08 Desember 2010

REFLEKSI HUT KE-39 KORPRI (29 Nopember 1971-29 Nopember 2010)


Oleh: Agus Safari, S. Pd

Tentang KORPRI

KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) adalah wadah untuk menghimpun seluruh Pegawai Republik Indonesia demi meningkakan perjuangan, pengabdian, serta kesetiaan kepada cita-cita perjuangan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bersifat demokratis, mandiri, bebas, aktif, profesional, netral, produktif dan bertanggung jawab.

KORPRI didirikan pada tanggal 29 Nopember 1971 dengan batas waktu yang tidak ditentukan yang hingga saat ini menginjak usia yang ke-38 tahun.

Yang dimaksud Pegawai Republik Indonesia adalah: Pegawai Negeri Sipil (PNS); Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta anak perusahaannya; Perangkat Pemerintah Desa dan nama lain dari desa.

KORPRI berdasarkan Pancasila dan bercirikan profesionalitas, pengabdian, kemitraan, kekeluargaan dan gotong royong.

Tentang PGRI

PGRI adalah organisasi profesi guru yang didirikan oleh para pendiri PGRI. PGRI lahir 100 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, di Surakarta, 25 November 1945.

Tujuan utama pendirian PGRI adalah: Membela dan mempertahankan Republik Indonesia (organisasi perjuangan); Memajukan pendidikan seluruh rakyat berdasar kerakyatan (organisasi  pendirian PGRI sama dengan EI: “education as public serviceprofesi)  not commodity”; Membela dan memperjuangkan nasib guru khususnya dan nasib buruh pada umumnya (organisasi ketenagakerjaan).

Tiga unsur pendiri (founding fathers) PGRI adalah: Guru yang pro kemerdekaan; Pensiunan guru pendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia; Pegawai Kementerian PPK yang baru saja didirikan.

Dilihat dari sejarahnya, tujuan utama pendirian PGRI, bahwa PGRI memajukan pendidikan seluruh rakyat berdasarkan kerakyatan (organisasi PGRI sama dengan EI: “Education as Public Service (Profesi) Not Commodity”. Ini artinya, bahwa peran utama PGRI adalah memajukan pendidikan untuk publik secara profesional dan bukan untuk kepentingan komoditas tertentu. Jika, PGRI masih dijadikan komoditas, maka PGRI telah mengingkari jatidiri sejarah dan tujuan utamanya.

PGRI bisa menemukan dedikasinya dalam hal organisasi, ini sebagai lembaga yang bisa memperjuangkan, membantu dan membela anggota dalam memperoleh hak, menghadapi masalah, termasuk kesejahteraan, seperti salah satu misi organisasi ini. Ketika guru bersuara dalam hal memeroleh kekurangan tunjangan dan kesejahteraan lain, apakah lembaga ini konsen dan peduli dengan para guru?

Ketika guru masih buta dengan apa dan bagaimana itu sertifikasi guru, apakah lembaga ini juga mempunyai kepedulian untuk secara kontinyu mengadakan kegiatan ilmiah atau memberikan pelatihan dan workshop? Padahal misi organisasi ini hingga 2010 adalah mendorong anggota untuk senantiasa meningkatkan kemampuan profesi sehingga dapat berpacu dengan kemajuan Iptek. Saya menilai, PGRI dengan  usianya yang sudah berkepala enam, mestinya lebih arif dan bijak untuk tidak mendekati guru hanya pada saat ingin meminta sumbangan saja.

Kasus yang saya sebutkan di atas hanyalah segilintir beberapa kasus yang semestinya PGRI harus turun tangan. PGRI merupakan organisasi guru yang mengklaim bahwa semua guru berada dibawah naungan lembaga ini. Struktur organisasi lembaga ini hampir mirip dengan partai politik yang mempunyai anggota hingga pada tingkat ranting.

Satu pertanyaan berikutnya adalah; kenapa mesti lahir lembaga lain diluar PGRI, seperti FK-PAGI, IGHI, eLKG, IGORA, ISPI dan organisasi lainnya? Salah satu benang merah yang bisa ditarik adalah, bahwa ternyata PGRI tidak bisa memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi oleh guru.

Organisasi ini hanya menjadi lembaga ‘boneka’ pemerintah atau kepentingan segelintir pengurus PGRI belaka. Sampai sekarang belum ada hasil yang relevan terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh organisasi ini terhadap nasib para guru. Terwujudnya anggaran 20 persen pendidikan di APBN, juga bukan murni dari perjuangan dan hasil kerja keras PGRI.

Oleh karena itu, sebagai salah seorang guru yang bukan merupakan anggota PGRI, saya hanya bisa menitipkan beberapa saran dalam hal pengembangan organisasi ini ke depan. Pertama; organisasi ini perlu melakukan reposisi. Sebuah lembaga seharusnya dihuni adalah orang yang mempunyai kepedulian terhadap nasib guru, bukan orang yang hanya profit personality (mementingkan pribadi atau jabatannya belaka).

Di beberapa daerah, kita bisa menemukan bahwa, mulai dari tingkat PGRI Kabupaten, hanyalah dihuni oleh orang-orang yang tidak memperjuangkan nasib guru secara keseluruhan, hanya orang yang mementingkan posisinya sendiri.

Hubungan Antara KORPRI dan PGRI

Menjadi anggota Korpri adalah keniscayaan bagi setiap warga negara yang berstatus PNS. Sebab sistem keanggotaan Korpri menganut sistem stelsel pasif, artinya tiap PNS secara otomatis adalah anggota Korpri termasuk guru yang berstatus PNS. Ini sangat berbeda dengan sistem keanggotaan di tubuh PGRI yang menganut stelsel aktif, yang berarti setiap guru, baik guru PNS atau guru swasta, harus mendaftarkan dirinya sebagai anggota PGRI dengan mengisi formulir, surat permohonan, sehingga kemudian ia akan tercatat sebagai anggota PGRI dengan mendapatkan kartu tanda anggota PGRI. Jika seorang guru tidak mendaftarkan dirinya sebagai anggota PGRI, maka ia tidak akan tercatat sebagai anggota PGRI. Jadi, menjadi anggota PGRI itu, boleh dikatakan penting tapi tidak penting, tidak penting tapi juga ada pentingnya, kalau boleh saya istilahkan “makruh” (ditinggalkan baik, tidak ditinggalkan tidak menjadi masalah).

Di mana letak beda Korpri dan PGRI? Letak perbedaannya adalah, bahwa Korpri ialah organisasi PNS yang wajib diikuti oleh seluruh PNS, sedangkan PGRI adalah organisasi yang tidak wajib diikuti oleh seluruh guru. Sehingga, perbedaan antara kedua organisasi ini. Lebih melekati ke-Korpri-annya dari pada ke-PGRI-annya.

Kenyataan ini menjelaskan bahwa, setiap guru harus melihat dan menjalankan fungsinya sebagai PNS daripada harus menjalankan fungsinya sebagai anggota PGRI. Lebih mendahulukan fungsi ke-PNS-annya.

Sehingga tidak ada kaitannya antara PGRI dan KORPRI. Maka, dengan demikian, memaknai hubungan ini semsetinya Korpri menjadi jembatan antara hubungan PNS dengan sistem yang ada, juga menyelesaikan masalah jika terjadi hal-hal yang terkait dengan persoalan hukum di antara kedua anggota Korpri dan anggota PGRI yang berstatus PNS saja.

Dalam usianya yang 38 tahun ini, diharapkan peran Korpri di Kabupaten Banyuwangi harus lebih konsisten dengan memperjuangkan hak-hak para PNS. Dengan terjadinya demo PGRI yang berstatus PNS beberapa waktu yang lalu, seharusnya Korpri dapat berperan menyelesaikan persoalan berdasarkan mekanisme yang sesuai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang ada. Korpri dapat memperjuangkan seluruh nasib PNS di Banyuwangi, tidak hanya guru PNS belaka, atau hanya 8 orang guru PNS yang diperjuangkan oleh PGRI dalam aksi demonya. Sehingga tidak akan terjadi lagi pelanggaran yang dilakukan oleh para PNS di Banyuwangi.

Hal ini harus diupayakan secara maksimal, sehingga melalui mekanisme dan peraturan yang berlaku, dapat kita temukan sebuah hubungan yang lebih menghargai fungsi dan peran masing-masing, tanpa harus menyeretnya ke ranah kepentingan tertentu.

Banyuwangi, 2009

Penulis adalah Guru PNS anggota KORPRI di Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar