Rabu, 08 Desember 2010

Sumpah Pemuda dan Nasib Banyuwangi ke Depan


Oleh: Agus Safari, S.Pd


Periodeisasi sejarah Indonesia modern memiliki keunikan tersendiri. Pembagian periode sejarah berdasarkan waktu itu diwarnai oleh gerakan pemuda di dalamnya. Sejarah Indonesia modern sering disebut berdasarkan periode Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, bangkitnya Orde Baru 1966 dan dimulainya orde reformasi 1998. 
            Peran pemuda dalam sejarah Indonesia sering diawali oleh peristiwa Kebangkitan Nasional tahun 1908. Walaupun demikian, sebenarnya peran pemuda telah diawali jauh sebelum itu. Hanya bentuk perannya berbeda. Sebelum 1908, para pemuda lebih banyak berperan dalam perjuangan secara fisik melawan penjajah namun lebih bersifat sektoral dan tidak terorganisir dalam satu wadah kesatuan.
            Berdasarkan sejarah, tonggak awal kebangkitan nasional diawali dengan berdirinya organisasi Budi Oetomo tahun 1908. Organisasi yang dimotori oleh para mahasiswa Stovia sekolah kedokteran yang didirikan Belanda untuk anak priyayi Indonesia. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan karena organisasi Budi Oetomo tidak bersifat nasional. Organisasi ini hanya ada di Jawa dan memang khusus diperuntukkan bagi orang Jawa.
            Kontroversi sejarah tersebut tidak bisa menafikan, bahwa sejak saat itu perjuangan pemuda telah memasuki babak baru. Perjuangan melalui sarana organisasi telah dimulai. Walaupun dimulai oleh organisasi yang bersifat kedaerahan, kesadaran untuk menyatu dalam suatu bangsa sudah ada. Dipelopori oleh para mahasiswa yang disekolahkan oleh Belanda dengan kebijakan politic etis.
            Faham nasionalisme mulai menyebar dan terwujud dalam peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928. Peristiwa ini menandai adanya semangat untuk bersatu dan berjuang bersama dari para pemuda yang berasal dari seluruh Indonesia. Semangat persatuan dan perjuangan ini terus digelorakan oleh para pemuda hingga mencapai puncaknya ketika Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno-Hatta.
            Peristiwa ini juga diawali dengan kenekatan para pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengas-Dengklok. Tindakan ini diambil oleh para pemuda agar mereka mau secepatnya mendeklarasikan kemerdekaan. Hal ini bertujuan agar kekalahan Jepang tidak dimanfaatkan oleh Belanda untuk masuk kembali ke Indonesia.
            Penculikan ini membawa hasil dengan dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai titik kulminasi perjuangan bangsa Indonesia. Momen bersejarah ini menjadi tonggak penting dalam kehidupan bangsa Indonesia selanjutnya. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, tapi tanpa perjuangan para pemuda bisa jadi kemerdekaan itu hanyalah angan-angan semata.
           Perjalanan sejarah bangsa ini mengalami hambatan untuk mencapai tujuan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, banyak kebijakan Soekarno yang tidak sejalan dengan idealisme ketika masih berjuang. Perpecahan “dwitunggal” Soekarno-Hatta akhirnya terjadi dan menandai kekacauan pemerintahan Orde Lama selanjutnya. Kekacauan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengambil alih kekuasaan.
            Pemberontakan PKI akhirnya berhasil digagalkan oleh angkatan bersenjata. Namun tanpa peran pemuda dan organisasi masyarakat lainnya, tidak mungkin bagi Soeharto merebut kekuasaan dari Soekarno. Pemuda yang dipelopori oleh mahasiswa saat itu terus memaksa agar pemerintahan Orde Lama turun dari kursi kekuasaan. Peristiwa tahun 1966 ini menjadi titik awal pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Soeharto untuk berkuasa.
            Peran pemuda dalam mengawali berdirinya Orde Baru diibaratkan sebagai pendorong mobil mogok. Ketika mobil itu sudah berjalan kembali, maka para pendorong mobil ditinggalkan (hampir sama kejadiannya di Banyuwangi). Kebijakan Soeharto justru melakukan represi ketat terhadap gerakan mahasiswa. Aktivitas mereka dibatasi pada awal 1970-an hanya sebatas ruang kuliah dengan NKK/BKK. Sementara itu, peran tentara semakin menggurita dalam kehidupan bangsa melalui dwifungsi ABRI.
            Pemerintahan Orde Baru dibangun dengan pondasi ekonomi yang rapuh. Secara politik dan kasat mata memang terlihat adanya kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Perbaikan kesejahteraan mulai tampak ke permukaan. Kemakmuran sudah dalam pelupuk mata, tapi sayang yang lebih dahulu merasakannya hanya kalangan tertentu dalam lingkaran kekuasaan Soeharto.
Power tends to corrupt and absolute power, corrupt absolutely. Itulah ungkapan yang tepat untuk sepak terjang Soeharto ketika berkuasa. Kekuasaan absolut yang digenggamnya membuat ia lupa diri. Asas kekeluargaan dalam ekonomi diartikan sebagai mendahulukan kalangan keluarga sendiri untuk menikmati nikmatnya kue kesejahteraan.
Pemerintahan yang rapuh dan kropos suatu saat akan jatuh juga. Krisis moneter mengawali kejatuhan pemerintahan Orde Baru. Selain itu, gelombang aksi mahasiswa yang terus menggelora menjadi bagai deburan ombak yang tak pernah berhenti. Akhirnya Orde Baru pun menyerah dan perpindahan kekuasaan pun terjadi. Mereka memang menyerah, tapi tidak kalah.
Orde reformasi yang diawali pada tahun 1998 seperti mengulang sejarah tahun 1966. Para pemuda yang berjuang untuk menggulingkan kekuasaan Soeharto kembali ditinggalkan ketika pemerintahan orde reformasi mulai berjalan.
Peran pemuda pun merupakan unsur terpenting di dalam memperkuat ketahanan kebangsaan dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan sebagai sebuah kekuatan sosial yang tangguh. Keutuhan mereka, akan menjadi sebuah spirit pemuda di dalam mempertahankan NKRI, baik secara material maupun membentengi bangsa dari serangan budaya global. Hal ini niscaya akan melahirkan rasa patriotisme dan nasionalisme di kalangan pemuda dan rakyat pada umumnya. Rasa patriotisme tersebut dimanifestasikan ke dalam pelbagai kiprah formal maupun non formal, yakni eksplorasi kreatifitas (SDM) secara mandiri, maupun melalui wadah organisasi-organisasi kemasyarakat dan pemerintah.
Ditarik ke dalam lingkup lokal, spirit pergerakan pemuda semestinya menjadi pelopor bagi pembangunan daerah Banyuwangi. Ini artinya, kita akan mengambil kegigihan dan idealisme pemuda dalam menegakkan nilai-nilai persatuan. Kepentingan penegakkan nilai-nilai idealisme, adalah menjaga agar setiap proses dan regulasi yang berjalan di kabupaten Banyuwangi ini, sesuai dengan kehendak dan jeritan rakyat. Nilai-nilai idealisme tersebut yang pada gilirannya akan memperkokoh kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Banyuwangi.
Nilai-nilai idealisme tersebut, secara aktual, ditandai dengan adanya kebijakan formal melalui legislatif dan eksekutif yang memihak kepada kepentingan orang banyak. Kita bisa melihat, komposisi anggota DPRD Banyuwangi, banyak diisi oleh para pemuda karena mereka telah dilahirkan oleh Pemilu Legislatif yang demokratis. Sehingga menjadi jelaslah, bahwa keberadaan orang-orang muda di gedung DPRD Banyuwangi itu adalah wujud kehendak rakyat Banyuwangi. Semangat dan idealisme mereka perlu dikawal oleh seluruh lapisan masyarakat Banyuwangi. Banyuwangi sebagai sebuah wilayah yang memiliki potensi lebih dibandingkan daerah lain, merupakan “miniatur Indonesia”. Sehingga peran kebijakan politik formal di Banyuwangi, sangatlah diiharapkan bagi masyarakat Banyuwangi yang pada hari ini masih berada dalam kondisi yang kurang beruntung dalam hal ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Secara geografis, Banyuwangi adalah daerah yang paling mudah menjadi transit budaya, Jawa-Bali, sebagai nadi transportasi dan komunikasi internasional. Semangat kecintaan terhadap daerah, adalah sesuatu yang aktual di dalam memperkokoh daerah Banyuwangi dari pengaruh asing maupun dari keterpurukan ekonomi masyarakatnya.
Pemimpin Banyuwangi ke depan mestinya memahami hal ini, ia adalah sosok tokoh yang memiliki semangat kepemudaan dan idealisme di dalam mencapai tujuan bersama menyejahterakan rakyat Banyuwangi dalam jatidiri budayanya. Tokoh tersebut adalah tokoh yang merakyat, tidak penting usianya, yang terpenting adalah semangat membangun daerah dengan niat yang sesungguhnya. Ia adalah tokoh yang tidak pernah tersandung persoalan hukum, memiliki konsep yang jelas terhadap kehendak membangun daerah Banyuwangi. Mari kita mencarinya, menemukannya, atau melahirkannya demi kesejahteraan Banyuwangi tercinta. Di tangan seorang pemimpin yang demikian inilah, Banyuwangi akan bangkit kembali dari keterpurukan kehidupannya. Seorang pemimpin yang baik, menurut Nabi Muhammad SAW, adalah seorang tokoh yang tidak meminta-minta untuk dicalonkan (tidak mencalonkan diri). Tetapi ia adalah tokoh yang secara alamiah dicalonkan oleh rakyatnya atau keberadaannya merupakan keharusan dari kehendak rakyat untuk menjadikannya seorang pemimpin, bukan atas kehendak pribadi atau kelompok tertentu. Itulah pemimpin sejati dalam pandangan Islam. Semoga.

Banyuwangi, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar