Selasa, 26 April 2011

Pendidikan Karakter yang Berakar pada Kearifan Lokal


(Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2011)

Oleh: Agus Safari, S.Pd

Hari pendidikan nasional 2 Mei 2011, kembali membawa kita pada kondisi pendidikan di negeri ini, yang oleh banyak kalangan masih dirasa kurang sempurna. Momentum yang paling tepat adalah membangun jati diri bangsa lewat pendidikan karakter. Bung Karno mengatakan “Nation and character Buliding”. Karakter amat menentukan dalam mempercepat dan memberhasilkan pembangunan di segala bidang, bahkan hampir dipastikan bahwa kesuksesan pembangunan itu sendiri bergantung kepada kesuksesan pembentukan karakter. Bagaimana mungkin akan tumbuh sebuah bangsa yang maju dan berperadaban  tanpa karakter yang menjadi alat dorongnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita sedang berada pada krisis multidemensi. Salah satu di antaranya krisis akhlak yang di dalamnya tercakup krisis karakter. Oleh sebab itu para pemerhati, pakar, aktivis pendidikan dan masyarakat saat sekarang ini banyak berbicara dan memberikan konsep tentang  pendidikan karakter. Salah satu di antaranya adalah upaya memperkaya konsep dan aplikasi pendidikan karakter , penulis mengemukakan satu tawaran sebagai tambahan dari konsep-konsep yang sudah ada yakni melalui pendekatan kearifan budaya lokal. Apa yang dimaksudkan dengan kearifan budaya lokal itu? Berkenaan dengan kebiasaan, adat istiadat, budaya dan pandangan hidup dari suku (etnis) tertentu yang telah teruji keampuhannya dalam membentuk karaktek etnis tersebut. Menurut para sosiolog dan antropolog , bahwa di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus suku bangsa (etnis)  yang memiliki bahasa, tradisi dan budaya sendiri. Dari setiap suku itu dapat dipastikan akan memiliki nilai-nilai (values) positif dalam kehidupan mereka yang telah diwarisi beratus tahun. Nilai (value) positif  seperti, keberanian, kejujuran, keterbukaan, disiplin, hemat, punya rasa malu, kekerabatan, tanggungjawab dan lain-lain.

Kearifan Budaya Lokal

Kearifan budaya lokal boleh jadi saat ini pada suku-suku tertentu mulai menghilang karena arus modernisasi dan globalisasi. Bahkan kemungkinan saja ada suku-suku tertentu yang telah meninggalkan tradisi budayanya, misalnya meninggalkan bahasa daerah. Di rumah tangga tertentu akibat dari berbagai faktor, temasuk perkawinan silang antar suku, kehidupan di kota-kota, bahasa daerah sudah tidak digunakan lagi. Dan hal itu bisa saja berpengaruh kepada hilangnya sedikit demi sedikit kerifan budaya lokal yang dimiliki oleh etnis tersebut.

Kondisi yang sedemikian itu sebetulnya tidaklah menghambat kita untuk tetap berpijak pada kearifan budaya lokal dimaksud, karena masih banyak suku bangsa di Indonesia yang masih berpegang kepada budaya dan kearifan lokalnya. Kearifan budaya lokal Banyuwangi perlu dilestarikan. Kearifan budaya lokal Banyuwangi perlu pengembangan nilai-nilai dan karakter positif yang terdapat di dalamnya, lalu ini dijadikan sebuah pegangan hidup pribadi di kalangan anggota masyarakat, seperti apa yang pernah ditulis oleh Bellah dalam sebuah hasil penelitiannya tentang masyarakat Jepang dalam buku “Relegi Togukawa”.

Dalam buku itu, Bellah bercerita tentang masyarakat Jepang yang memiliki semangat Busido. Semangat ini pada mulanya hanya dimiliki kaum samurai Jepang, tetapi akhirnya semangat itu di sosialisasikan ke seluruh lapisan masyakat, sehingga semangat ini menjadi semangat bersama bagi seluruh masyarakat Jepang, baik petani, pedagang atau profesi lainnya. Semangat Busido itu menjadi karakter mereka yang melahirkan prilaku: rajin, jujur, hemat, taat kepada pimpinan dan orang tua, berani.

Lahirnya semangat busido yang  berimplikasi kepada lahirnya karakter positif masyarakat Jepang adalah berangkat dari akar budaya mereka. Mereka terjemahkan kearifan budaya mereka menjadi karakter dan mereka implikasikan dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak seorang pun yang membantah bahwa bangsa Jepang adalah  bangsa  terajin di dunia. Biasa dilakukan oleh seorang pekerja di Jepang apabila telah berakhir jam kerjanya di sebuah perusahaan dia tidak langsung pulang tetapi diteruskannya kerja lembur.

Di Banyuwangi, kita mewarisi budaya dan sejarah yang memiliki karakter yang sangat kuat. Dapat kita lihat budaya Banyuwangen, yang sering kita sebut dengan Using. Sebagaimana bersama kita ketahui, Banyuwangi adalah kelanjutan dari Blambangan yang memiliki karakter budayanya yang khas. Masyarakat Banyuwangi (Using), memiliki sikap yang tabah, tegar, jujur (paran anane), berani, tegas, dan simpel/tidak bertele-tele (kelendi enake). Sejumlah watak tersebut tercermin dalam khasanah budaya Banyuwangi dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah hal itu menjadi modal penting di dalam mengembangkan dunia pendidikan berkarakter yang berakar pada kearifan lokal kebanyuwangian.

Kaitan Budaya Lokal dengan Pendidikan Karakter

Para pakar pendidikan mengemukakan bahwa pendidikan karakter itu amat efektif dilakukan di lingkungan keluarga. Kenapa? Pertama, keluarga adalah pendidik utama dan pertama bagi anak. Kedua, pendidikan karakter ini lebih banyak dipraktekkan ketimbang diucapkan. Ketiga, hubungan batin yang intensif itu adalah hubungan batin antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai peserta didik. Oleh karena itu, tekanan pendidikan karakter ini seharusnya lebih dominan di lingkungan keluarga, tanpa bermaksud mengabaikan pendidikan di sekolah dan di masyarkat.

Pada setiap rumah tangga telah terbentuk sebuah pandangan hidup tentang baik dan buruk. Orang tua sudah dapat dipastikan memiliki itu. Apakah pandangan hidup itu berasal dari agama, budaya atau lainnya yang diwariskan orang tua kepada anak-anak mereka. Indonesia amat kaya dengan kearifan budaya. Boleh jadi ada satu etnis tertentu yang amat membudaya bagi mereka adalah karakter kejujuran, bagi etnis tersebut kejujuran itu adalah harga diri yang paling mahal dan tinggi, lalu ini  dididikkan kepada generasi mudanya, sehingga kapan saja, di mana saja dan siapa saja akan tetap  berpegang kepada nilai kejujuran itu. Bagi mereka kejujuran adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.

Disebabkan  persolan karakter bangsa semakin menjadi perhatian serius bagi kita saat  sekarang, maka pendidikan karakter bangsa perlu dijadikan program utama. Berkenaan dengan itu perlu dicarikan masukan yang lebih komprehensif. Sebuah  pekerjaan besar harus digotong royongkan mengerjakannya, karena pendidikan karakter  adalah sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa diselesaikan secara parsial, harus digotong royongkan dengan cara mencari segala celah yang dapat digunakan untuk memperkaya konsep dan aplikasi pendidikan karakter. Salah satu celahnya adalah lewat pengamalan nilai (value) positif yang terdapat pada  kearifan budaya lokal Banyuwangi. Dengan asumsi bahwa semakin banyak celah  yang dipergunakan untuk membangun karakter bangsa maka semakin  berpeluang untuk lebih berhasil. Dan dalam hal ini, pendidikan di sekolah harus lebih dominan melibatkan orang tua dan keluarga. Fungsi pendidikan dalam keluarga tak terlepas dari peranan ayah dan ibu yang memiliki beberapa turunan fungsi yang bersifat kultur (pendidikan budaya) untuk mempartahankan budaya dan adat keluarga, bersifat religi (pendidikan agama) agar kehidupan dalam keluarga berjalan dengan baik, sejahtera, tentram dan terarah. Selain itu, bersifat ekonomis (pendidikan ekonomi) sehingga tidak tercipta krisis keuangan keluarga, bersifat sosialisasi (pendidikan sosial) agar menciptakan suasana yang kondusif baik secara internal maupun eksternal, bersifat protektif (pendidikan proteksi) untuk melindungi wahana keluarga dari pengaruh apa pun atau faktor apa pun yang  merugikan bagi keluarga dan lainya. Oleh karena itu, filter utama dari pengaruh negatif adalah keluarga.

Peran Pemerintah

Peran pemerintah sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional, ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan sebagai usaha secara sadar untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang berakar pada kebudayaan nusantara.

OTONOMI DAERAH DALAM PARADIGMA GLOBAL


(Refleksi Hari Otonomi Daerah 25 April)

Oleh: Agus Safari, S. Pd *)

Tidak terasa, otonomi daerah telah berjalan sekian tahun lamanya. Tulisan ini bermaksud merefleksi pelaksanaan otonomi daerah di Banyuwangi, yang diperingati setiap tanggal 25 April. Sebagaimana kita ketahui bersama, pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 dan menjelang pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terbukti masih banyak dijumpai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.

Pertama, adanya persepsi bahwa provinsi tidak lagi memiliki otoritas administratif terhadap kabupaten/kota. Provinsi terkesan ‘takut’, bahkan ‘minder’ untuk menyentuh domein pemerintahan kabupaten/kota, sehingga lebih bersikap menghindari kemungkinan munculnya tuduhan bahwa provinsi mencampuri urusan rumah tangga kabupaten/kota. Desi Fernanda (2000), dan Tri Widodo (2001), menyebut keadaan di mana provinsi merasa kehilangan rasa percaya diri, takut dan minder untuk berurusan dengan kabupten/kota, sebagai sindrom inferioritas. UU No. 32 tahun 2004 agaknya berupaya mengadopsi problema ini dengan mempertimbangkan perlunya perhatian terhadap aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah.

Kedua, pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah, dari orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik, (dalam batas tertentu) telah memicu konsolidasi parameter-parameter primordialisme dalam komunitas politik lokal, yang bisa menyuburkan berkembangnya “daerah-isme” secara berlebihan. Padahal, otonomi bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan, sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan sikap egoisme kelompok (suku, agama, ras), eksklusivisme teritorial (wilayah, daerah, kawasan), primordialisme, serta sikap intoleran terhadap orang atau kelompok lain.

Ketiga, implementasi otonomi daerah selama ini juga masih meninggalkan sejumlah persoalan seputar tarik-ulur hubungan keuangan pusat dan daerah, hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, serta penataan institusi dan mekanisme lokal. Akibatnya, penerapan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 yang diimplementasikan menjadi Undang-undang No.32 Tahun 2004, telah banyak menimbulkan perdebatan wacana, yang menyoroti berbagai persoalan. Akan tetapi, ada satu persoalan yang jarang dicermati, yaitu persoalan “keterbatasan cakrawala” dalam melihat proses otonomi itu sendiri. Otonomi daerah selama ini hanya dilihat dalam cakrawala geo-politik yang terbatas, sebagai proses “terlepasnya” daerah-daerah dari pusat, yang kemudian diberikan kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konteks kajian budaya (cultural studies), cara pandang demikian menjadi parsial karena batas-batas geo-politik dan sosio-kultural sudah mencair dari kesatuan-kesatuan sosial yang ada sebelumnya. Implikasinya, provinsi/kabupaten/kota tidak lagi dapat menentukan, mendefinisikan diri dan lingkungannya dalam kerangka berpikir dan bertindak secara utuh sebagaimana sebelumnya.

Di Banyuwangi, permasalahan Otonomi Daerah juga menjadi bagian yang sama dari persoalan-persoalan umum di daerah lain. Yang perlu kita catat sebagai semangat dan pilar otonomi daerah di Banyuwangi, ialah kita menyadari bahwa otonomi daerah merupakan bagian dari proses demokratisasi. Hal ini ditandai dengan sharing of power. Misalnya, dalam melaksanakan sistem pemerintahan, harus ada sinergi antara jabatan politik dan jabatan birokrasi antara DPRD, Bupati-Wakil Bupati, dan Sekretaris Kabupaten sebagai pemegang jabatan formal non-politik (professional). Pelaksanaan otonomi daerah pun haruslah kita kaitkan dengan penguatan budaya lokal (local genuine). Ini artinya, kita harus dapat meleburkan diri ke dalam nilai-nilai budaya dan sejarah lokal Banyuwangi. Karena di masa globalisasi saat ini, setiap kelompok yang ikut ke dalam arus global justru akan mengalami kehancuran. Sedangkan kelompok yang konsisten di dalam ketetapan lokalistiknya (nilai-nilai kearifan lokal), ia akan tetap eksis di tengah gelombang globalisasi.

Otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik di daerah, agar pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat, dan melakukan perombakan birokrasi demi efektifitas program pembangunan di daerah. Pemerintah kabupaten perlu meningkatkan pelayanan yang tidak mempersulit kepentingan rakyat. Di samping itu, penetapan APBD dilakukan sepenuhnya oleh DPRD Banyuwangi dengan melibatkan atau mengikutsertakan rakyat di dalam pengambilan keputusan. DPRD sebagai lembaga kontrol memiliki wilayah kewenangannya sendiri, begitu juga dengan eksekutif. Jangan terjadi tumpang tindih tugas antara eksekutif dan legislatif. Ada tugas-tugas legislatif yang tidak boleh “dicampuri” oleh eksekutif dan ada tugas-tugas eksekutif yang tidak boleh “dicampuri” oleh legislatif. Misalnya, wewenang tentang penataan birokrasi yang berada di tangan eksekutif, dan legislatif tidak boleh “mencampuri” urusan tersebut. Hal ini harus dipahami, agar roda pemerintahan tidak terhambat oleh persoalan mekanisme yang menyebabkan terbengkalainya program-program otonomi. Hal itu telah diatur dalam perundangan yang ada.

Reformasi birokrasi aparatur negara adalah perubahan dari government (pemerintah; peran pemerintah lebih dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan) ke governance (tata pemerintahan, penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan, bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan,  mengelola sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, mengandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development (penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata pemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang bertanggungjawab, pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa). Hasil pengamatan Sofian Effendi (rektor UGM) menyimpulkan, sampai dengan saat ini Indonesia masih dihadapkan banyak masalah dalam mengembangkan good governance, antara lain  tantangan dalam pemberantasan KKN, clean government, kebijakan yang tidak jelas, kelembagaan belum ditata dengan baik, penempatan personil tidak kredibel, dan enforcement menggunakan sentra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa. Pendayagunaan aparatur negara, yakni terwujudnya aparatur negara yang profesional, handal dan bermoral menuju pemerintahan yang baik. Hal itu dapat dicapai dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi koordinasi program pendayagunaan aparatur negara, kualitas pelayanan publik, akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, koordinasi pengawasan, kelembagaan dan ketatalaksanaan yang efektif dan efisien, profesionalitas SDM aparatur, dan kinerja aparatur negara. Di Banyuwangi, tentu kita berharap pemerintahan yang sekarang dapat menuju pada pencapaian ideal tersebut dengan mempertahankan pelbagai tatanan yang telah cukup baik selama ini, serta melakukan perubahan yang lebih baik dari tatanan yang dirasa kurang sempurna. Hal ini akan menghasilkan prestasi bagi Banyuwangi dan mendatangkan kondisi investasi yang menarik dan sehat.

Otonomi daerah tidaklah boleh melahirkan “raja-raja kecil” di tingkat daerah. Ini memerlukan kontrol kekuasaan secara efektif. DPRD Banyuwangi melakukan kontrol kritis terhadap Pemkab, dan rakyat (beserta lembaga-lembaga non-government dan ormas) juga melakukan kontrol secara aktif. Karena itu, penguatan masyarakat adalah sangat vital di dalam mengawal otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan wewenang kepada pemerintah kabupaten untuk mengambil keputusan seluas-luasnya sesuai dengan kewenangannya. Namun, sangat kita sayangkan, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita masih melihat kebijakan-kebijakan formal di Banyuwangi terasa kesulitan mewujudkan terobosan dalam program pembangunan daerah. Hal itu dapat kita maklumi, karena terlalu banyaknya pihak-pihak di luar kekuasaan yang dulu mendukung kini berebut “jatah” dari kekuasaan yang telah didapatkan melalui Pemilukada serta ketakutan terhadap sistem yang mengkhawatirkan terjebak dalam kasus korupsi. Tentu untuk menghindari dua hal itu, pemimpin formal harus bekerja secara profesional dan memiliki tim pengkaji hukum dan undang-undang yang memiliki kapabilitas di bidangnya. Kita harus belajar kepada bupati-bupati pendahulu yang telah mampu dan berani mengambil langkah strategis untuk membangun daerahnya, meskipun mereka menjadi korban sistem. Kita masih ingat dalam sejarah Banyuwangi, Tawangalun II yang jujur, berani, cerdas dan berwibawa, Mas Alit (bupati pertama) yang berani mengambil resiko demi kepentingan rakyat, Djoko Supa’at Slamet yang memiliki perhatian tinggi terhadap budaya lokal, dan Ir. H. Samsul Hadi yang melangkah dengan terobosan-terobosannya yang spektakuler. Dan setelah itu, kita terasa kehilangan nama pemimpin seperti nama-nama tersebut. Setiap orang tidak akan memungkiri jasa dan prestasi monumental dari Tawangalun II, Mas Alit, Djoko Supa’at Slamet, dan Ir. H. Samsul Hadi. Diharapkan bupati yang sekarang memimpin Banyuwangi, dapat melanjutkan tongkat estafet empat tokoh pemimpin bersejarah tersebut.

Akhirnya, kinerja pemerintahan di era otonomi daerah ini, bergantung pada kualitas pemimpin yang benar-benar menjadi “andalan” rakyat Banyuwangi untuk mencapai kesejahteraan hidup yang lebih baik.

Banyuwangi,  25 April 2011

*) Penulis adalah Koordinator Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politk Lokal Banyuwangi.