Rabu, 08 Desember 2010

DUA OPSI BUAT PGRI BANYUWANGI


Oleh: Agus Safari, S.Pd

DEMO yang dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia mencerminkan wajah-wajah dunia pendidikan di Banyuwangi. Dapat bersama kita ketahui dengan jelas, wajah-wajah guru kita yang dalam istilah Jawa adalah sosok yang patut di-”gugu” dan di-”tiru”. Di manakah letak kepatutan itu, jika pada kenyataannya para guru kita yang tergabung dalam PGRI masih mengambil peran organisasi yang lebih bersifat politis? Bukan berarti harus kita naifkan bila seorang guru menyentuh wilayah politik. Namun menjadi ironi jika lantas para guru kita terlampau masuk dalam wilayah politik dengan mengatasnamakan profesinya sebagai seorang guru. Demo yang dilakukan guru beberapa hari yang lalu ke gedung DPRD Banyuwangi, memberikan gambaran yang riil, bahwa dunia pendidikan di Banyuwangi yang selama ini dibangga-banggakan oleh semua kalangan, ternyata menyisakan kepedihan dan ketidakberesan. Itulah karenanya, eksekutif sangat bergairah memakai isu dunia pendidikan untuk melegitimasi kekuasaan politiknya. Kenapa? Karena, mau tak mau, pendidikan adalah kebutuhan vital masyarakat serta para guru di Banyuwangi memiliki jumlah yang cukup banyak. Isu perhatian terhadap dunia pendidikan bukan lagi barang baru. Pemerintahan Ratna Ani Lestari, SE.,MM yang hendak memberikan perhatian bagi dunia pendidikan formal di Banyuwangi, masih merupakan isapan jempol belaka. Buktinya, lima tuntutan PGRI Banyuwangi yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab eksekutif setelah disahkan melalui proses legislasi di DPRD Banyuwangi, belum samasekali terealisasi dengan jelas.

Lima tuntutan PGRI itu yaitu: 1. Cairkan tunjangan fungsional PNS, 2. Sediakan seragam PNS, 3. Cairkan tunjangan lauk pauk PNS, 4. Pengangkatan guru bantu/kontrak, dan 5. Pencairan dana insentif guru. Tutututan PGRI Banyuwangi tersebut jika dialamatkan ke DPRD Banyuwangi, tentu sah saja karena mereka mengadu kepada wakil-wakil rakyat. Pengaduan itu semestinya meminta kepada DPRD Banyuwangi supaya mendesak eksekutif melaksanakan lima tuntutan PGRI itu secara konsisten. Bukan sebaliknya! Kenapa? Karena DPRD Banyuwangi sudah melakukan proses legislasi terkait lima tuntutan tersebut, kemudian secara sistem ketatanegaraan proses selanjutnya dilaksanakan oleh eksekutif, dalam hal ini Bupati Banyuwangi sebagai pemegang kekuasaan formal di wilayah eksekutif. Namun pada kenyataannya, PGRI malah mendesak DPRD Banyuwangi untuk mencairkan dana-dana sebagaimana lima tuntutan mereka. Apakah PGRI tidak mengerti dengan gamblang, bahwa proses pencairan dana itu adalah wewenang penuh eksekutif? Jika tuntutan PGRI Banyuwangi kepada DPRD Banyuwangi agar DPRD melakukan PAK 2008, apakah hal itu tidak mengundang tawa? Karena berdasarkan Perpres No.58/2006 Tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan, DPRD Banyuwangi sudah melaksanakan mekanisme tersebut dengan menganggarkan dana sebesar Rp33.834.801.000,- dalam APBD Kab. Banyuwangi tahun 2008. Kemudian Perpres yang baru, yakni No.108/2007 terbit pada tanggal 6 Desember 2007 yang menggantikan Perpres lama No.58/2006, disebutkan adanya penyesuaian kenaikan besar nilai Tunjangan Tenaga Kependidikan yang mulai berlaku 1 Januari 2007. Hal ini mestinya disikapi oleh eksekutif melalui Tim Anggaran Pemkab Banyuwangi dengan menuangkannya pada Raperda APBD 2008. Namun, pihak eksekutif tidak memasukkan pada draf APBD 2008. Padahal APBD 2008 sudah disahkan oleh DPRD Banyuwangi pada tanggal 28 Desember 2007. Ketika Perpres 108/2007 itu terbit, secara teknis telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.173/PMK.07/2007 Tentang Penetapan rincian alokasi dana penyesuaian tunjangan kependidikan tahun 2007 kepada daerah provinsi, kabupaten dan kota. Kabupaten Banyuwangi mendapatkan alokasi dana sebesar Rp6.470.484.800,-. Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan Np.175/PMK.07/2007 Tentang Penetapan rincian alokasi dana penyesuaian tunjangan kependidikan tahun 2008, Kabupaten Banyuwangi mendapatkan dana sebesar Rp7.177.222.000,-. Sehingga total tunjangan kependidikan selama dua tahun tersebut, sebesar Rp13.647.706.800,-. Lantas di mana relefansi tuntutan PGRI itu? Semestinya PGRI menanyakan dan menuntut hal itu kepada eksekutif, dan DPRD Banyuwangi bertanya kepada eksekutif sebagai fungsi kontrol legislatif. Dan PGRI bersama DPRD Banyuwangi bersatu padu menuntut kepada eksekutif, bukan malah DPRD yang dituntut. Mari mendudukkan persoalan ini secara obyektif dan berpendidikan sebagaimana ciri serta watak seorang guru yang bisa di-”gugu” dan di-”tiru”. Sehingga tidak terkesan guru melakukan tindakan yang arogan bahkan sampai melakukan adu jotos. Para guru harus berpikir secara obyektif, mendalam, dan rasional (bukan rasial) agar para guru kita menyadari, sebenarnya beliau-beliau itu dimanfaatkan oleh siapa? Oleh PGRI atau oleh kekuasaan? Hal ini tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat saya kepada para guru yang patut untuk di-”gugu” dan di-”tiru”, bukan di-”elu-elu” lalu “turu”, demikian istilah orang Jawa. Dan menurut filosofi orang Sumatera, berbunyi “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, bukan sebaliknya, karena jika sebaliknya, maka menunjukkan sikap yang arogan dan kurang santun. Hal ini telah dicontohkan oleh maha guru dan sultan dari Sumatera, yakni Sultan Badarudin Syah I.

Tuntutan para guru kita merupakan tuntutan yang manusiawi. Ini terkait dengan kesejahteraan hidup para guru kita yang berjasa namun selalu dikesampingkan hak-haknya. Namun, tuntutan tersebut haruslah tetap dilaksankan berdasarkan aturan dan perundangan yang berlaku. Sehingga para guru kita tetap terjaga dari pemanfaatan dan arogansi kekuasaan yang menumpanginya, yang pada gilirannya tetap akan merugikan para guru kita dan dunia pendidikan di Banyuwangi. Apapun tuntutan para guru kita mesti disandarkan pada logika peraturan yang ada, sehingga tetap terbangun sikap santun dan baik. Dalam menyikapi persoalan ini, ada dua opsi bagi para guru kita. Pertama; Para guru melakukan penekanan (presure) kepada DPRD Banyuwangi untuk menganggarkan kekurangan pembayaran tunjangan tenaga kependidikan tersebut pada RAPBD Tahun Anggaran 2009 (dibayarkan secara rapelan) di tahun 2009. Kedua; Apabila PGRI menuntut agar DPRD menganggarkan PAK 2008 untuk tunjangan kependidikan itu, maka DPRD akan menabrak Undang Undang dan peraturan yang berlaku tentang perubahan APBD. Sehingga hasil yang diperoleh dari PAK itu akan cacat hukum. Jika PAK 2008 dipaksakan, selain cacat hukum, akan berakibat molornya pengesahan dan penetapan APBD 2009, dan bila sampai lewat bulan Desember 2008, maka akan terancam sanksi pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 20% oleh Menteri Keuangan. Padahal DAU tersebut mempunyai kontribusi 80% dari seluruh jumlah dana APBD, termasuk gaji PNS tahun 2009. Secara logis, ketika kita paksakan PAK 2008 dengan tunjangan kependidikan sebesar Rp13.647.706.800,- itu, maka kita akan kehilangan DAU APBD tahun 2009 sebesar 20% dari seluruh anggaran APBD 2009. Mari berpikir logis, di mana para guru kita bisa menentukan pilihannya? Ayo guru-guru...!

Banyuwangi, 2008

Penulis adalah Koordinator
Pendidikan Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politik Lokal Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar