Rabu, 08 Desember 2010

Gerakan Pramuka di Banyuwangi, Sebuah Ketertinggalan yang Aktual

Oleh: Agus Safari, S.Pd *)


Gerakan Pramuka di Banyuwangi, sebagaimana di daerah-daerah yang lain, tetap saja menunjukkan sebuah gejala deteroiratif. Artinya, terjadi penurunan minat dan bakat pemuda terhadap gerakan kepanduan ini. Hal ini tak lain, dikarenakan setiap kegiatan di dalam Pramuka selalu bersifat monoton, formal, dan terkesan mengedepankan kecakapan fisik serta terlampau eksklusif. Sehingga tidak heran bila para pemuda sangat alergi terhadap Pramuka, bahkan terkadang selalu menjadi bahan ejekan, bahkan muncul celetuk-celetuk mereka, misalnya: “Hari gini masih Pramuka?”, atau “Pramuka? Gak Gaul! Kuno!”. Para muda itu lebih menyukai kegiatan musik, seperti drum band, band, bahkan lebih menyukai kegiatan yang bersifat menantang seperti, Pecinta Alam, Sepak Bola, atau Bela Diri. Hal ini wajar saja. Karena para pengelola Gerakan Pramuka di Banyuwangi, belum bisa menciptakan sebuah langkah “revitalisasi” yang dicanangkan presiden SBY tahun 2006, atau Gerakan Pramuka yang dilaksanakan belum mencerminkan renovasi kreatif dari Gerakan Pramuka itu sendiri. Dalam sebuah teori, “Class of Civilization” oleh Samuel Huntington, menjelaskan bahwa, setiap peradaban atau formula yang dibuat manusia, akan mengalami sebentuk Survival of The Fittest, atau seleksi alam versi sosial. Ini artinya, tiap formula yang tidak bisa berkompetisi di dalam jangka ruang dan waktu, akan mengalami ketertinggalan dan tidak lagi dipakai secara populer. Misalnya musik dangdut, semakin lama, musik dangdut tidak ada penggemarnya karena telah digeser dengan musik-musik yang lain. Tapi, kemudian musik dangdut dapat mempertahankan diri dengan mengubah penampilannya secara kreatif yakni dengan mencampur formula musiknya menjadi rege, pop dangdut, dan irama-irama rancak, disco dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, dangdut tetap digemari hingga sekarang. Begitu juga dengan Pramuka. Gerakan Pramuka harus bisa merubah penampilannya secara kreatif dan inovatif sehingga ia tidak ditinggalkan dan mengalami ketertinggalan.

Secara teknis, barangkali Pramuka perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan yang bersifat seni, dan hobi. Misalnya musik, kecakapan berorasi, kecakapan mengolah bahan-bahan kesenian, mencintai alam dan lebih mengedepankan pola eksplorasi kreatifitas daripada pola kecakapan fisik belaka. Dengan demikian, mungkin Pramuka dapat diterima sehingga doktrin kepramukaan dapat tertanam di benak para pemuda kita. Inilah sebenarnya sebuah langkah inti dari sebuah revitalisasi itu.

Langkah-langkah ini, tentu saja harus didukung oleh pemerintah daerah, baik berupa penyediaan fasilitas, pengerahan dana, dan pemantapan Gerakan Pramuka. Pada sisi lain, sekolah tidak boleh memungut dana apa pun dari pihak wali murid, sedangkan prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan salah satunya adalah dengan iuran anggota, itupun tidak bernilai besar sehingga tidak mungkin memenuhi anggaran untuk semua kegiatan. Bagaimana mungkin Gerakan Pramuka akan menjadi efektif, berkualitas, produktif dan kreatif bagi kaum muda jika pendanaannya tidak ada atau tidak dilaksanakan prinsip metodik kepramukaan tersebut di dalam segala kegiatan Pramuka itu sendiri? Ini sebuah hambatan yang aktual. Dengan demikian, kita berharap agar pemerintah sesegera mungkin merealisasikan perhatiannya, baik berupa pengucuran dana maupun perhatian yang lebih bersifat akomodatif demi perkembangan Gerakan Pramuka di Banyuwangi, yakni sebuah gerakan yang lebih inovatif, kreatif, produktif dan efektif. Di samping itu, keberadaan Andalan Cabang Gerakan Pramuka Banyuwangi, yang selama ini tidak aktif semestinya segera aktif, karena tahun 2009 mereka sudah masuk pada akhir masa jabatannya, sehingga tentu saja mereka harus melakukan semacam pertanggung jawaban secara formal. Ini penting, agar Gerakan Pramuka di Banyuwangi benar-benar menjadi sebuah gerakan yang memberikan manfaat bagi masyarakat umumnya, kaum muda khususnya yang tengah menggembleng diri secara mentalitas di dalam Gerakan Pramuka.
***
PADA pertemuan pembina pramuka, saya pernah berkelakar, andai saja pramuka jadi 'partai politik' barangkali dapat memenangkan Pemilu. Alasan saya sederhana, lantaran secara keanggotaan semua orang sudah pernah menjadi pramuka dan merasakan betapa kegiatan pramuka penuh nuansa 'ikhlas bakti bina bangsa berbudi ‘bawa laksana'.

Sudah saya tebak sebelumnya bahwa ide guyon tersebut tidak mendapat sambutan. Semua pembina pramuka yang hadir menyatakan tidak sependapat dengan apa yang saya lontarkan. Bahkan ada yang menangggapi serius berdirinya pramuka bukan untuk menyusun kegiatan yang menjurus ke partai politik, namun lebih terfokus kepada pembinaan generasi muda.

Dalam benak 'umpan saya terpancing'. Apa yang saya lontarkan sebenarnya hanya sebuah pencerahan pemikiran lantaran sudah lama stakeholders pramuka hanya berpandangan homogen. Tidak pernah ada dinamika pemikiran yang merupakan refleksi dari perlunya pramuka untuk berwawasan ke depan memikirkan negeri Indonesia.

Dalam kondisi negara yang tidak menentu, apa yang dilakukan pramuka cenderung sama dengan kondisi negara sebelumnya. Simak saja, pelbagai kegiatan pramuka dari siaga, penggalang, penegak/pandega, dan pembina selalu menampilkan aktivitas yang monoton. Para pembina pramuka hanya berpikir kegiatan pesta siaga, jambore, raimuna, dan karang pamitran dari zaman dulu sampai sekarang tanpa memiliki dinamika aktivitas yang heterogen.

Secara konsep, sebenarnya tidak ada orang yang meragukan organisasi yang berlambang tunas kelapa tersebut. Hal ini lantaran keberadaannya cukup terbukti mampu mengakomodasi kekuatan dan aktivitasnya cenderung 'baik'. Hampir tidak pernah ada berita di media mengenai tindak kejahatan dan kriminal yang berlabel pramuka.

Yang menjadi bahan renungan barangkali, bukankah para pelaku tindak kejahatan tersebut ketika sekolah juga pernah menjadi anggota pramuka? Nilai apakah yang mereka serap dan teladani dari kegiatan pramuka? Bukankah pramuka selalu berkampanye dengan untaian lagu: 'pramuka siapa yang punya, pramuka siapa yang punya, pramuka siapa yang punya, yang punya kita semua'. Kata 'kita', yang dimaksud adalah seluruh bangsa Indonesia.

Konsekuensi logis dari lagu tersebut adalah rasa handarbeni terhadap gerakan pramuka sehingga segala pikiran, ucapan, dan tindakan senantiasa berpedoman pada Tri Satya dan Dasa Darma. Realitas di lapangan belum sepenuhnya anggota gerakan pramuka mengamalkan nilai-nilai luhur tersebut karena tidak dilandasi dengan sikap ikhlas bakti bina bangsa berbudi bawa laksana.
Lihat saja tayangan iklan di televisi dengan setting pramuka yang memamerkan produk sepatu terkenal, tanda-tanda/atribut pramuka yang dikenakan tidak benar, seperti pemasangan tanda pelantikan pramuka 'laki-laki'. Hal serupa juga terulang pada penayangan sinetron Bidadari-Bidadari dan acara lawakan yang perankan oleh Unang, yang mengambil setting kegiatan pramuka beberapa waktu yang lalu. Ternyata pengakuan mereka, mereka tidak tahu dan bahkan tidak kenal dengan Pramuka. Ironis, bukan?

SEJUJURNYA, konsep ikhlas bakti bina bangsa berbudi bawa laksana, sangatlah cocok untuk negeri Indonesia, bukan 'ikhlas harta demi kedudukan'. Hal menarik dari konsep tersebut semata-mata mengajak seluruh komponen bangsa agar memberikan setitik bakti untuk negeri ini, senantiasa teguh pada pendirian, dan menepati apa yang dikatakan.

Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan yang berbunyi sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali, yang dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk mewujudkan apa yang telah diucapkan. Kristalisasi dari ungkapan itu adalah perlunya pemimpin memiliki sifat bawa laksana. Dalam filsafat jawa, seorang raja (dan tentunya, demikian pulalah seorang pemimpin) harus memiliki sifat bawa laksana disamping sifat-sifat baik lainnya.

Ini tercermin dari ungkapan yang sering diucapkan Ki Dalang dalam setiap lakon wayang, yang berbunyi: dene utamaning nata, berbudi bawa laksana (sifat utama bagi seorang raja adalah bermurah hati dan teguh memegang janji).
Sifat bawa laksana dianggap mempunyai nilai yang sangat tinggi, sehingga ia harus dimenangkan apabila terjadi benturan dengan nilai-nilai lain, termasuk nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Etika bawa laksana ini mengandung nilai yang bersifat universal. Di mana pun dan kapan pun juga, sikap tersebut pasti diakui sebagai mengandung nilai filsafat yang baik dan perlu dipegang teguh oleh semua orang, tidak terkecuali para anggota pramuka.

Lantas, bagaimana dengan etika ‘bawa laksana’ pemimpin negeri ini yang penuh dengan kebohongan, korup, dan mengabaikan nilai-nilai kebangsaan? Tanpa memberi komentar yang berlebihan, masyarakat barangkali sudah dapat memberikan penilaian terhadap kinerja para pemimpin negeri ini. Bercermin pada perilaku pramuka yang kental dengan nuansa ikhlas bakti bina bangsa dan berbudi ‘bawa laksana’, agaknya dapat dijadikan pengobat kegelisahan negeri yang mendapat julukan zamrud katulistiwa. Selaras dengan tema HUT ke-47 Pramuka tahun 2008 yang dicanangkan yakni: 'Bersatu dalam Kebersamaan dan Bersama dalam Persatuan'. Gerakan Pramuka selayaknya menjadi pelopor perlunya merekatkan kembali nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa menuju terciptanya kebersamaan untuk membangun bangsa di tengah-tengah kehidupan yang mengglobal. Setidaknya, ada beberapa hal yang patut direnungsarikan sebagai bekal gerakan pramuka dalam menjadi pelopor persatuan dan kesatuan bangsa.
Pertama, pertajam serangkaian kegiatan yang bernuansa persatuan secara spesifik dengan mengaktifkan kegiatan di gugus depan sebagai basis pembinaan generasi muda. Kegiatan bersifat beregu yang merupakan refleksi dari pentingnya kebersamaan perlu ditingkatkan lebih aplikatif sebagai wujud pengalaman Dasa Darma pramuka.

Kedua, konsisten dan disiplin dalam menjalankan tugas sebagai internalisasi dari semboyan pramuka: ikhlas bakti bina bangsa berbudi bawa laksana. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas kegiatan bakti, baik kepada sesama dan lingkungan sekitar sebagai bentuk pengamalan Dasa Darma ke-2, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.

Ketiga, mengamalkan nilai-nilai luhur gerakan pramuka dalam kehidupan sehari-hari dan responsif terhadap pelbagai fenomena yang terjadi di lapangan. Wujud nyatanya dengan berpikir, berucap, dan bertindak yang baik dalam selubung kehidupan yang pluralis. Selebihnya menindakkritisi pelbagai gagasan-gagasan yang bersifat inovatif demi kemajuan pramuka di masa depan.

Keempat, senantiasa menjalin interaksi dan koordinasi dengan organisasi lain dalam upaya membangun negeri Indonesia. Hal ini didasari atas pentingnya kebersamaan selaras dengan pepatah: 'Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh'. Kebersamaan tersebut juga dapat menepis asumsi sementara orang bahwa pramuka adalah organisasi yang dijadikan 'anak emas' pemerintah. 

Memandulah terus suatu saat akan kau temukan sesuatu yang indah! Dirgahayu Gerakan Pramuka! Semoga masih menjadi milik 'kita' semua sehingga mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa demi masa depan Indonesia tercinta.

Banyuwangi, 2008

*). Penulis adalah Sekretaris
Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Banyuwangi.
Masa Bhakti 2005-2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar