Rabu, 08 Desember 2010

PGRI Banyuwangi Butuh Pemimpin yang Berintegritas (Menyambut Konferkab PGRI 2010)


Oleh: Agus Safari, S. Pd

PGRI Banyuwangi mengalami masa yang sangat memprihatinkan selama lima tahun terakhir ini. Kepemimpinan Husin Matamin selama ini, banyak menyisakan kontroversi. PGRI seolah tidak lagi menjadi wadah para guru dan tidak menjadi motor utama pengembangan dunia pendidikan di Banyuwangi. PGRI Banyuwangi terlalu masuk ke dalam wilayah praktis, terjebak ke dalam kehendak-kehendak praktis kekuasaan, bahkan di akhir masa lima tahun kepemimpinan Husin Matamin, PGRI justru melakukan gerakan yang telah mengakibatkan sejumlah guru dijatuhi sanksi. Hal ini sangat disayangkan. Semestinya PGRI tidak bergerak pada wilayah tersebut. PGRI mestinya menjadi pengawal profesi para guru, mengembangkan dunia pendidikan dengan melakukan peningkatan kualitas guru dan sarana pendidikan di Banyuwangi, juga melakukan pendampingan hukum bagi guru yang tersandung masalah hukum. Peran dan upaya itu, merupakan jatidiri PGRI sebagaimana telah ditetapkan dalam AD/ART-nya. Peran ini sama sekali tidak diambil secara cerdas oleh PGRI Banyuwangi selama lima tahun. PGRI Banyuwangi dengan para pengurusnya, hanya melakukan gerakan-gerakan yang belum berarti apa-apa bagi dunia profesi guru di Banyuwangi. Tak lain PGRI hanya melakukan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, dan menjadi "makelar" pembuatan karya tulis ilmiah yang justru merendahkan kualitas guru.
Kenapa hal-hal di atas itu terjadi? Ini tak lain adalah karena selama lima tahun, PGRI tidak "dihuni" oleh para pengurus yang berpengalaman di bidangnya, tidak memiliki integritas intelektual, dan tidak akuntabel. Apa yang dilakukan PGRI Banyuwangi ketika para guru tidak mendapatkan hak-haknya? PGRI melakukan demo. Apakah demo itu menyelesaikan persoalan para guru? Ternyata malah mengakibatkan jatuhnya sanksi kepada para guru yang terlibat dalam demo tersebut. Lalu, setelah para guru dijatuhi sanksi, apakah PGRI Banyuwangi melakukan pembelaan hukum terhadap para guru itu? Ternyata tidak. Kemudian, di benak kita bertanya; apa yang telah dilakukan PGRI bagi para guru di Banyuwangi atau dunia pendidikan di Banyuwangi? Di sinilah menjadi mendesak sekali, betapa peran kepemimpinan di dalam tubuh PGRI Banyuwangi sangatlah vital dan pengawalan serta sikap kritis para guru pun akan penting di dalam mengawal tiap gerak-gerik PGRI di dalam menjalankan AD/ART-nya.
PGRI Banyuwangi akan melakukan konferensi. Ini artinya, PGRI akan melakukan pergantian kepemimpinan beserta para pengurusnya. Hal ini harus benar-benar kita kawal dengan baik, supaya konferensi dapat melahirkan pemimpin baru yang lebih baik, yang lebih memahami jatidiri PGRI, berpengalaman dalam dunia pendidikan, kapabel, integratif, dan bertanggungjawab terhadap profesionalitas keguruan di Banyuwangi.
Seperti apakah gambaran sosok pemimpin PGRI ke depan? Memilih pemimpin harus menjadi patokan utama para peserta konferensi nanti. Jika hanya sekadar memilih ketua, maka PGRI hanya akan menampilkan nama, mendukung nama, dan menjadikannya ketua, menyusun kepengurusan, lalu deklarasi. Selesai. Memilih bukan sekadar memilih ketua, tetapi yang terpenting adalah menentukan tokoh dan kepemimpinan. Ini artinya, para peserta konferensi harus mengerti sosok tokoh yang akan dipilihnya. Ketua PGRI Banyuwangi nanti, boleh seorang guru, dosen, atau praktisi pendidikan yang telah malang melintang di dunianya. Yang terutama, ia adalah seorang tokoh yang memiliki integritas aktual di dunia pendidikan di Banyuwangi dan sudah dibuktikan oleh publik dan kematangan waktu. Dia juga memiliki keperdulian melakukan pembelaan terhadap persoalan-persoalan guru di Banyuwangi dengan mengedepankan sebuah proses konstitusional yang obyektif dan bersungguh-sungguh.
Di dalam konferensi itu pula, PGRI harus merumuskan kerja-kerja profesinya selama lima tahun. Harus pula dirumuskan apa saja yang akan dikerjakan selama lima tahun ke depan. Yang harus diutamakan adalah bagaimana supaya PGRI Banyuwangi memegang platform yang jelas di dalam dunia pendidikan di Banyuwangi. Mendedikasikan perannya bagi kesejahteraan para guru, memperjuangkan hak-hak para guru secara elegan dan bermartabat. Konferensi PGRI Banyuwangi akan menjadi taruhan bagi kelangsungan dunia profesi guru dan pendidikan di Banyuwangi. Jika dalam konferensi tersebut PGRI gagal memilih pemimpin dan gagal merumuskan konsep-konsep pengembangan dan pemberdayaan di bidang pendidikan, maka lima tahun ke depan PGRI hanya akan menjadi sebuah organisasi yang tidak akan jauh berbeda dari corak keterpurukan di tahun-tahun sebelumnya.
Beberapa hal yang perlu dirumuskan dalam konferensi PGRI dan yang harus menjadi pegangan utama sosok ketua PGRI ke depan adalah:

BANGKITKAN PROFESIONALISME ANGGOTA

Alam konstelasi politik yang kadang sulit diprediksi arah dan kehadiranya, serta merta telah memasuki berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari persoalan-persoalan yang rumit hingga pelik tingkatannya tidak dapat dihindarkan. Organisasi tidak dapat menghindar dari keadaan ini, apalagi justru malah pasif. Realitas inilah yang menantang bagi setiap organisasi untuk lebih merasa bertanggung jawab pada semua anggotanya. Kondisi ini membawa perubahan yang sangat besar terutama pada proteksi profesi, seseorang yang menyatakan dirinya sebagai profesional pendidik (guru) misalnya, tidak dapat lagi sembunyi di balik kekuatan organisasi dalam menjamin eksistensinya. Kendatipun organisasi tidak kehilangan inner power (kekuatan sejatinya) untuk melindungi anggota-anggotanya yang lemah profesi. Organisasi saat ini secara tidak langsung telah berubah pada perikatan yang profesional, artinya tidak hanya mengemban misi dalam upaya-upaya perlindungan individu, karena era ini menuntut lebih banyak persaingan yang sifatnya individual [Competition on individual base]. Organisasi profesi yang secara dini tidak membekali para anggotanya dengan piranti persaingan, dan tidak hanya menanti belas kasihan organisasi, secara dini pula dirinya akan terlindas oleh kemajuan jaman.
Suatu kenyataan telah berada di pelupuk mata kita, bahwa hadirnya profesional pendidik asing (guru-guru dari luar negeri), tak satupun organisasi mampu menolaknya. Karena negara telah mengikat dirinya dalam berbagai bentuk perjanjian, misalnya WTO, APEC dan AFTA yang kita sepakati dan mengharuskan kita sepakat untuk mendunia.
Menghadapi kenyataan ini, maka sebuah organisasi harus melangkahkan kesadarannya pada misi baru, yakni menjadi katalisator untuk meningkatakan kekuatan profesional para anggotanya. Sebagai langkah awal adalah mencegah sekaligus mengeliminasi idola-idola sesat. Meminjam buah pikir Francis Bacon, sebagai peletak dasar-dasar empirisme, menganjurkan organisasi untuk membebaskan manusia dari pandangan atau keyakinan yang menyesatkan, dia menyebutkan terdapat empat idola yaitu:

  1. “The idols of cave”, yakni sikap mengungkung diri sendiri seperti katak dalam tempurung, sehingga enggan membuka diri terhadap pendapat dan pikiran orang lain.
  2. “The idols of market place”, yaitu sikap mendewa-dewakan slogan dan cenderung suka “abang-abang lambe” (lips service).
  3. “The idols of theatre”, yaitu sikap membebek, kurang fleksibel, berdisiplin mati dan “ABIS/Asal Bapak Ibu Senang”.
  4. “The idols of tribe”, yaitu cara berpikir yang sempit sehingga hanya membenarkan pikiranya sendiri [solipsistic] dan hanya membenarkan kelompoknya/organisasinya sendiri.

Jika organisasi telah mampu membebaskan para anggotanya dari idola-idola tersebut, maka secara tidak langsung organisasi telah meraup kembali inner power yang selama ini hilang sebagai akibat kemajuan zaman yang penuh ketidakpastian.
Dikaitkan dengan profesional guru, maka wadah organisasi seperti PGRI tertantang untuk memanifestasikan kemampuannya, karena secara makro organisasi PGRI dihadapkan pada “barier protection” sebagai akibat globalisasi. Sadar dari realitas ini, PGRI akan tetap melakukan upaya cerdas dalam bentuk peningkatan kemampuan individual [penigkatan kompetensi]. Sehingga kesan yang berkembang dan yang memandang PGRI hanya mempertahankan organisasi sebagai alat pelindung dengan bermodalkan kekuatan massa [pressure group], tidak selamanya benar. Sehingga tidak sebentar-sebentar demo.

MENGKUATKAN TANGGUNG JAWAB

Tanggung jawab profesi juga terkena imbas kemajuan jaman, teristimewa untuk profesi pendidik, karena di samping tuntutan bidang akademik dengan perannya sebagai alih pengetahuan [transfer of knowledge] secara bersamaan, guru membawa beban moral, sebagai pendidik moral.
Kemajuan teknologi ternyata tidak pernah steril dari budaya baru, teknologi selalu mempercepat dan membawa dampak pengiring, yang kadangkala bernuansa negatif. Tanpa disadari langit-langit bumi telah berubah menjadi atmosfir elektronik, yang dengan bebas dan tanpa merasa dosa mengalirkan informasi ke segala penjuru dunia, dan tidak memandang perbedaan budaya, etika serta etistika.
Suatu gambaran yang serba naif, dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia, karena parabola telah mampu menjembatani penyiaran TV-TV asing, dengan tidak terasa terjadi penetrasi budaya. Secara bersamaan guru telah mendapatkan beban tambahan untuk memberikan perawatan budaya, agar moral bangsa tetap berada dalam bingkai budaya. Keadaan ini menjadi serba dilematik, sisi lain guru harus ahli dalam penguasaan subject mater, namun beberapa waktunya hilang untuk dibagi mengurusi bidang-bidang yang terkait dengan moral.
Sebagai tantangan tanggung jawab profesi, yang terkait dengan persoalan moral profesi adalah semakin lemahnya kepercayaan terhadap guru, karena nilai-nilai yang berkembang saat ini dengan cepat memberikan perubahan, namun berbagai persoalan individu utamanya kesejahteraan seorang guru masih belum dapat dikatakan menggembirakan. Kenyataan menunjukkan kepada kita, sering pula guru dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menekuni perkerjaan-pekerjaan yang akhirnya merugikan nilai-nilai profresional.
Ilustrasi yang sangat ringan dapat kita lihat, bahwa kemajuan ekonomi juga mengkondisi guru lebih senang bahkan lebih tekun mengerjakan fungsi-fungsi lain yang lebih menjanjikan dari pada mempertajam visi profesinya.
Melihat realita ini, maka organisasi harus melakukan tindakan cerdas, dengan berupaya terus menerus melakukkan siasat.
Akhirnya, saya ucapkan kepada PGRI Banyuwangi, selamat berkonferensi..!!!

Banyuwangi, 29 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar