Rabu, 08 Desember 2010

Guru, Moralitas dan Profesi

Oleh: Agus Safari, S. Pd

Banyuwangi tidak terlepas dari kondisi global, di mana ruang dan waktu sudah sangat sempit. Banyuwangi secara geografis mendapatkan perhatian yang cukup istimewa, berada di antara selat Bali dan laut internasional, serta merupakan wilayah yang menjadi urat nadi transportasi Jawa-Bali, dan dinamika masyarakatnya yang majemuk dengan jumlah jiwa hampir 2 juta orang. Sedangkan jumlah guru di Banyuwangi kurang lebih mencapai 10 ribu orang. Sebuah angka yang cukup fantastik. Tentu saja, dengan melimpahnya tenaga pendidik di Banyuwangi, akan melahirkan out put (peserta didik) yang juga berkualitas. Namun pada kenyataannya, hal itu berbanding terbalik. Tingginya kuantitas guru di Banyuwangi, ternyata tidak diimbangi oleh tingginya kualitas guru, terutama pada tingkat profesionalitas guru dan moralitas seorang pendidik. Kita hari ini boleh berandai-andai adanya sesosok pendidik yang sejati. Namun kita tentu tidak akan berpaling dari kenyataan yang ada.

Profesionalitas lalu pada gilirannya adalah kapabilitas seorang pendidik serta moralitasnya, merupakan harga dan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di dunia ketiga ini (negara-negara berkembang), keberadaan seorang guru sangat menjadi sebuah kebutuhan yang vital. Di negara-negara maju, seorang guru dituntun profesionlitas, kapabilitas, dan integritasnya. Sebuah keharusan yang memang menjadi wajib. Di tengah perubahan waktu, di mana teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat, guru-guru kita di sini seolah pun terseret masuk ke dalam hiruk pikuknya. Integritas dan moralitas guru pun dipertaruhkan.

Guru dan Kontraproduktif

Ratusan guru melakukan demo di depan Pemkab Banyuwangi. Guru memperjuangkan hak-haknya dan melakukan protes terhadap bupati Banyuwangi. Dua sisi yang cukup menyulitkan bagi guru-guru yang tergabung dalam PGRI itu. Satu sisi, guru harus konsisten dalam tugasnya, sisi yang lain ia harus menuntut hak-haknya yang mereka kira kurang atau tidak dipenuhi oleh Pemkab. Kalau para guru itu melihat siapa yang memegang kebijakan, maka guru-guru akan kesulitan mengajar. Aksi mogak mengajar yang dilakukan guru-guru, tentu merugikan para peserta didik dan masyarakat (wali murid). Hak para murid akan terkorbankan, hak masyarakat untuk mendapatkan pengajaran terhadap anak-anaknya pun terkorbankan, ini sungguh kontraproduktif. Mogok mengajar pun menyalahi PP 30 dan PP74 Tentang guru, dan UU Pokok-pokok Kepegawaian. Guru adalah sosok yang sangat mulia, dan tentu saja ia harus melakukan aksi-aksinya juga dengan cara-cara yang lebih elegan dan simpatik. Ini memang membutuhkan sebuah kearifan dan ketahanan diri, menghadapi pelbagai persoalan pelik. Tentu saja guru tidak sendirian, ada banyak wali murid, ada banyak hal-hal yang jauh lebih baik untuk bisa menyalurkan aspirasinya, dan semua pihak lebih mengedepankan kehendak untuk menemukan solusi, bukan permasalahan baru.

Dalam sebuah filosofi Jawa, kita kenal istilah “Guru digugu lan ditiru”. Guru adalah sosok yang diperhatikan nasehatnya dan diteladani segala tindakannya. Nilai-nilai luhur ini merupakan sebentuk gambaran riil sosok seorang guru di dalam membangun peradaban manusia. Ia adalah orang yang secara keilmuan memiliki kemampuan di bidangnya, dan secara sosial-psikologis ia hidup di tengah-tengah masyarakat dengan segala jati dirinya sebagai manusia yang mencerminkan nilai-nilai keluhuran dari ilmu yang dimilikinya.

Sering kita mendengar dan melihat berita tentang penyimpangan sikap guru. Di antaranya, ada berita, misalnya, guru memperkosa muridnya, guru wanita main selingkuh dengan wartawan, guru melakukan korupsi, ada juga guru yang nekat melakukan bunuh diri, pengguna dan pengedar narkoba, dan masih banyak lagi yang terkesan tidak masuk akal jika dilakukan oleh seorang guru. Kita boleh cemas, tetapi kita juga tidak boleh kehilangan harapan. Kenapa demikian? Karena sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini, bahwa guru juga adalah manusia biasa yang juga masuk dalam pusaran waktu, dalam sebuah ruang waktu yang telah digerus oleh dahsyatnya globalitas dan lalu lintas budaya. Ketahanan mental dan keimanan seseorang, paling tidak di negeri timur ini, menjadi taruhan. Facebook, internet, dan masih banyak lagi teknologi informasi dan komunikasi yang menguasai segenap sektor kehidupan, memberikan peluang kepada siapa pun, termasuk guru, ikut ambil bagian di dalamnya. Dulu peluang untuk korupsi sangat kecil, karena mungkin kucuran dana dari pemerintah ke sekolah-sekolah tidak sebesar sekarang. Tetapi saat ini, peluang untuk korupsi sangat mudah dilakukan oleh oknum guru, misalnya banyak kasus BOS yang menjerumuskan guru ke dalam sel.

Lalu bagaimana kita mengatasinya? Tidak lain, kembali kepada persoalan pendidikan dan penghayatan budi pekerti. Ini pun harus dihayati oleh para guru beserta para muridnya. Menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan keluhuran budi adalah sesuatu yang sangat penting dibandingkan sekadar pengetahuan yang ditransfer ke dalam otak para peserta didik. Guru tidak hanya sebagai “mesin pengajar”, tetapi ia adalah seorang pendidik yang dengan integritasnya ia mendidik murid-muridnya dengan tingkah laku yang mulia. Kebiasaan dan budaya yang baik, memang diawali dari lingkungan sekolah. Pembebasan pola berpikir dan metode belajar-mengajar perlu dilakukan, namun tetap tidak meninggalkan batas-batas etika di dalam sebuah tindakan hidup. Ini menjadi sesuatu yang begitu dibutuhkan jika kita hendak membangun perabadan yang baik, menakar kualitas guru yang mumpuni, yang benar-benar “digugu lan ditiru”.

Paulo Friere, seorang filosof pendidikan berkebangsaan Brazil, menerapkan sebuah formula proses belajar-mengajar yang terbebaskan, yakni pendidikan kerakyatan yang bertujuan untuk memperluas cakrawala pendidikan yang tidak terhegemoni oleh sistem pendidikan yang sama sekali tidak berpihak pada kebebasan manusia. Namun, Friere dalam hal ini, menggariskan bahwa kebebasan yang diformulasikan adalah kebebasan beranalogi serta berlogika di dalam menyerap pelbagai ilmu pengetahuan dengan matang dan aplikatif. Kematangan dan kebebasan berpikir serta kehendak melahirkan peserta didik yang cemerlang, tidak serta merta menghilangkan ikatan sosial, budaya, dan kepercayaan (agama). Dalam pikiran Paulo Friere, justru pola dasar dari suatu pembebasan itu terletak dalam ikatan sosial-budaya serta agama di mana suatu proses pendidikan itu dijalankan.

Melihat persoalan ini, ada hal-hal yang perlu kita lakukan di Banyuwangi. Yakni, sejak dini kita harus menyusupkan lebih dari 50% pendidikan etika dan moralitas, agama dan budi pekerti. Mungkin secara teknis, sekolah-sekolah kita dapat melakukan kegiatan rutin berupa pembinaan mental dan rohani yang diikuti oleh para murid dan guru-gurunya. Adanya komunikasi secara intensif antara guru dan wali murid, antara guru dan muridnya, dengan membiasakan melakukan sebentuk kegiatan silaturahmi atau “home visit”. Di samping itu, menanamkan pengetahuan moral dan agama secara mendalam, serta mengaktifkan pelbagai kegiatan yang positif di sekolah.

Akhirnya semua tidak akan bisa diatasi tanpa peran semua pihak di dalam kehendak bersama demi kebaikan suatu generasi dan para pendidiknya. Ini adalah tantangan yang kita hadapi hari ini.

Banyuwangi, 14 Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar