Rabu, 08 Desember 2010

Pendidikan Gratis di Banyuwangi-------- Momok bagi para Guru


Secara umum, program pendidikan gratis bisa diterima dengan baik oleh para guru. Namun belakangan, pahlawan tanpa tanda jasa ini mulai takut dengan program tersebut. Alasannya, kebijakan itu justru memasung kreativitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Banyak program belajar-mengajar terpaksa dihentikan karena takut menabrak kebijakan Bupati. Seperti apakah program pendidikan gratis di Banyuwangi? Apa saja kendalanya bagi pelaku pendidikan?
====================================================== 
Pendidikan gratis di Banyuwangi banyak yang menyebut sebagai ''kloning'' pendidikan gratis di Jembrana (Bali). Benarkah demikian? Yang jelas sejak adanya larangan pungutan di sekolah, banyak guru di Banyuwangi mulai malas untuk mengajar. Mereka merasa dibatasi ruang gerak dalam bertugas. Yang lebih parah lagi, para guru seperti kehilangan dunia belajarnya dengan anak didik. "Sejatinya pendidikan gratis layak kita dukung, tetapi perlu kajian mendalam sebelum digulirkan," kata salah satu guru SMP Negeri, Agus Safari, S.Pd.
Dicontohkan, sejak hadirnya pendidikan gratis banyak anggaran sekolah yang menipis. Bahkan, harus kalang kabut untuk menutupinya. Pemicunya adalah adanya larangan pungutan yang dikeluarkan Bupati Ratna Ani Lestari. Pengelola sekolah hanya mengandalkan subsidi yang dikucurkan dari pemerintah. Padahal, lanjut Agus, banyak program sekolah yang harus ditangani dan membutuhkan dana
Akibat menipisnya anggaran, banyak program sekolah terpaksa dibatalkan, bahkan dihapus. Dia mencontohkan program ekstrakurikuler seperti gerakan pramuka dan kesenian. Dampak larangan adanya pungutan membuat program-program itu mandek dan terbengkalai. "Kalau sudah begini siapa yang akan bertanggung jawab. Lagi-lagi para guru yang harus menerimanya," keluhnya.
 
Pendidikan gratis, lanjut Agus Safari, bukan semata-mata untuk siswa. Namun, kelangsungan sekolah juga wajib dipikirkan. Pemerintah mestinya bisa memberikan bantuan yang cukup kepada sekolah sebelum membuat larangan pungutan. Setidak-tidaknya 50 persen dari total anggaran yang dibutuhkan sekolah bisa disubsidi oleh pemerintah. Tetapi kenyataannya, subsidi yang diberikan masih sangat minim. Padahal, sekolah ingin berkreasi sebaik mungkin.
Bantuan insentif yang diberikan kepada guru dinilai masih minim. Termasuk insentif kelebihan jam mengajar. Semua bantuan ini belum menjawab kebutuhan para guru yang kian kompleks. Akibatnya, para guru terus kehilangan semangat berkreasi. Jika ini terus dibiarkan, kata Agus, akan berdampak buruk pada kualitas pendidikan
 
Sejak adanya pendidikan gratis banyak kegiatan sekolah menjadi lesu. Hasil evaluasi terakhir kualitas pendidikan di Banyuwangi menurun drastis. Tahun 2003-2004 silam, Banyuwangi memiliki kualitas pendidikan yang baik. Namun, sejak adanya pendidikan gratis kualitasnya justru menurun.
Menyikapi persoalan ini, para guru hanya bisa pasrah. Mereka tidak berani melanggar aturan yang ditetapkan. Jika ada penarikan iuran, para guru akan berpikir seribu kali untuk melakukannya. Kalaupun terpaksa dilakukan, semuanya harus melalui persetujuan komite sekolah.
Kendati demikian, mereka tetap berharap pemegang kebijakan bisa kembali memikirkan nasib dunia pendidikan. Tidak hanya mengejar target dan popularitas. Mestinya, kata Agus, sebelum pemerintah menggratiskan pendidikan harus melihat dulu besarnya pendapatan asli daerah (PAD). Tujuannya, saat program digulirkan tidak membebani pejabat yang ada di lapangan.
 
Dipaksa Digulirkan
Meski terus menuai pro-kontra, program pendidikan gratis tetap dipaksa digulirkan. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi beralasan program itu mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Yang lebih penting lagi memberikan peluang kepada seluruh masyarakat bisa mengenyam pendidikan hingga ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi Drs. Nurhadi, M.M. mengatakan program pendidikan gratis adalah dasar dari visi-misi Bupati Ratna Ani Lestari. Berdasarkan visi inilah, program tersebut dijadikan rencana program jangka menengah daerah (RPJMD) kabupaten. Untuk mendukung program itu, pemerintah telah meningkatkan anggaran pendidikan dalam APBD hingga mencapai 21 persen. Bahkan, tahun 2007 ini anggarannya dinaikkan menjadi 22 persen. "Tujuan utamanya adalah memberikan peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mengenyam pendidikan dengan murah dan mudah," kata Nurhadi.
 
Hanya, kata dia, pendidikan gratis kurang dipahami oleh masyarakat. Yang dimaksud gratis adalah tidak adanya pungutan SPP bagi sekolah negeri. Sebab, dana untuk SPP sudah diambilkan dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional dari pemerintah kabupaten. "Jadi istilah gratis hanyalah untuk SPP, bukan gratis secara keseluruhan," dalihnya. Pemahaman ini sering kali kurang dimengerti oleh masyarakat.
 
Larangan adanya pungutan di sekolah dimaksudkan untuk mengurangi beban bagi wali murid ketika menyekolahkan anaknya. Kendati demikian, pemerintah tidak melarang setiap sekolah untuk melakukan penarikan iuran, tetapi dengan syarat melibatkan komite sekolah setempat. Termasuk pengelolaannya dilakukan secara transparan. Meski diberikan larangan pungutan, pemerintah telah memberikan insentif kepada para guru dan biaya tambahan lainnya. Mulai dari insentif kelebihan jam mengajar hingga bantuan kegiatan ekstrakurikuler bagi sekolah tertentu
Dicontohkan, untuk SMK Negeri mendapat bantuan peningkatan mutu hingga Rp 40 juta per tahun. Sementara untuk SMA mencapai Rp 20 juta per tahun. "Jadi tidak benar kalau kita mengurangi biaya operasional sekolah. Semuanya tetap dipikirkan oleh pemerintah," kilah Nurhadi.
 
Tidak hanya sekolah negeri yang mendapat bantuan biaya operasional. Untuk mendukung program pendidikan gratis, pemerintah memberikan beasiswa kepada sekolah swasta yang berprestasi. Tahun ini direncanakan setiap sekolah akan diberikan bantuan operasional sesuai dengan jumlah kelas di sekolah tersebut.
Kendati muncul larangan pungutan, pihak sekolah negeri tetap diberikan kesempatan untuk melakukan penggalian dana. Caranya dengan menggandeng masyarakat ataupun instansi yang peduli dengan pendidikan. "Artinya masyarakat tetap diberikan kesempatan untuk ikut membantu peningkatan kualitas pendidikan," sambung Nurhadi.
 
Dalam hal ini komite sekolah memegang peranan yang penting. Di beberapa sekolah favorit, paguyuban wali murid diberikan kesempatan membuat program sendiri untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Selain pemberian insentif, pemerintah berupaya melakukan efisiensi pendidikan dengan melakukan merger beberapa sekolah dasar (SD). Langkah ini dilakukan untuk mengurangi pemborosan anggaran dan efosiensi penempatan para guru. Sedikitnya ada 125 sekolah yang siap dilakukan merger. Salah satu pertimbangan merger adalah minimnya murid dan gedung sekolah yang rusak. Hasil pendataan sementara terdapat ada 600 gedung sekolah yang rusak. Semua gedung itu ditargetkan bisa direhab seluruhnya pada tahun ini.
Program pendidikan gratis diklaim justru meningkatkan kualitas kelulusan. Sejak adanya program tersebut tingkat kelulusan meningkat tajam. Tahun kemarin, tingkat kelulusan SLTA mencapai 97%, SMK 96% dan SMP 89%. "Ini bukti nyata bahwa pendidikan gratis memiliki hasil yang menggembirakan. Makin banyak siwa yang sekolah dengan adanya pendidikan murah," pungkas Nurhadi.
 
Meski demikian, dia mengakui masih banyak kendala untuk menuntaskan program pendidikan gratis. Salah satunya adalah beban psikologis yang diterima para guru. Awalnya, para guru merasa tertekan dengan kebijakan tersebut. Namun, persoalan itu lanjutnya bisa diselesaikan dengan melakukan sosialisasi dan pendekatan. Kendala lainnya adalah minimnya pemahaman masyarakat terkait istilah pendidikan gratis. Pemahaman yang berkembang, pendidikan gratis adalah tidak dipungut segalanya. Sementara pemerintah tetap membebankan biaya operasional personal pendidikan kepada masing-masing siswa. * budi wiriyanto (Bali Post, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar